Ibu adalah ia yang ada sejak 21tahun lalu. Kata agama, ia adalah madrasah pertamaku tahu tentang warna, tahu tentang beda dan tahu tentang siapa yang menciptakan aku dan dirinya.
Simone de Beauvoir adalah yang aku kenal beberapa tahun yang lalu dari teks – teks yang aku baca. Sejak jatuh cinta pada Rose Marie Putnam Tong, sejak itulah aku akrab dengan de Beauvoir.
Ibu dan de Beauvoir bertemu dalam pikiranku. Saling bercengkrama kadang saling berdebat, kadang saling menepuk – nepuk bahu saling tergugu, kadang mereka saling menertawakan.
Ibu yang mengajari aku untuk berjuang. Ia selalu mengusahakan yang terbaik, kadang memberi tanpa diminta, kadang membuatku bersabar lebih lama untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Ibu yang selalu mendukung untuk mengambil setiap kesempatan dan hikmah dari kejadian. Ibu yang selalu bilang bahwa kita tidak pernah berdiri sendirian, percaya bahwa tiap jatuh pasti bisa bangkit meskipun kadang kamu perlu menangis. Ibu yang menunjukan betapa kuat ia, betapa ia berani memperjuangkan, betapa ia bisa berdiri di kakinya dengan kokoh tanpa pernah goyah. Ibu pula yang mengatakan kejarlah mimpi dan prestasi semampu aku bisa berlari. Ibu yang selalu bilang bahwa wanita itu harus mandiri, baik hati, dan ikhlas memberi. Ibu selalu bilang, jangan pernah takut pada apa yang belum terjadi ia bilang Sang Maha Pencipta selalu baik dan mengawasi. Ibu yang akan selalu berpesan hati – hati di akhir pembicaraan telephone atau pesan singkat.
Simone de Beauvoir adalah pengarang perancis. Terkenal sebagai penulis yang mendalami kondisi perempuan. Ada kalimat yang dia tulis demikian dalam bahasa perancis “On ne naît pas femme, on le devient.” yang diartikan dalam bahasa indonesia: “Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan”. De Beuvoir ialah seorang tokoh feminis eksistensialis. Saat ini memang masih menganggap tabu feminis, ada yang bilang itu melampaui kodrat wanita dalam agama dll. Sekali lagi saya ingin berpikir luas dari de Beauvoir saya jatuh cinta pada pemikirannya :
Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa perempuan yang sadar akan kebebasannya, mereka akan dapat dengan leluasa menentukan jalan hidupnya, sehingga menurut Beauvoir perempuan dapat pergi bekerja dan mengkatualisasikan diri secara maksimal, perempuan bisa menjadi intelektual dan tidak perlu khawatir akan kemampuannya jika dilihat dari keterbatasan biologisnya.
Awalnya saya sulit memahami mengapa konsep feminisme Beauvoir dikategorikan sebagai eksistensialisme. Untuk itu saya mencoba memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan eksistensialisme itu sendiri. Eksistensialisme merupakan suatu gerakan filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang dalam keberadaannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang terus berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Karena berbicara mengenai makna, eksistensialisme tidak memperlakukan individu sebagai sekedar konsep, melainkan menghargai subyektivitas individu jauh melampaui obyektivitasnya. Anggaplah ‘menjadi perempuan’ itu bukan sindiran meskipun itu kritikan darinya, anggaplah itu sebagai perenungan bahwa ya memang perempuan harus ‘menjadi perempuan’ – harus bisa sama – sama berlari seperti laki – laki.
Bahwa hidup memang pencarian pada diri sendiri. Disetiap perjalanan akan menuntut perubahan, akan diminta memikirkan, hingga memutuskan. De Beauvoir juga mengajarkan saya untuk selalu belajar lebih keras agar tidak menjadi konsep semata agar bisa bergerak dan memberikan arti serta pemahaman.
Ibu dan de Beavoir mengajarkan saya untuk berkarya.
Ibu adalah pendamping terbaik ayah saya. Mereka ada untuk saling melengkapi, memarahi, dan berkebun di perkarangan sendiri. Ibu mengajari arti pernikahan bagi seorang wanita. Ibu, itulah Ibu.
Simone de Beauvoir “wanita pandai penyunjung emansipasi wanita” bertemu dengan Jean Paul Sartre pria pandai pelopor pembaruan roman modern. Sartre dan de Beauvoir menolak lembaga pernikahan. Mereka berdua menjalani apa yang mereka cipta dan sebut sebagai modernisme. Ketika Tuhan memanggil pulang Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir jadi mengerti benar apa itu sebenarnya perempuan, sifat dan naturnya. Pertanyaanya apakah de Beauvoir menyesal menolak institusi pernikahan? Apakah ia menyesal tidak pernah menikah dengan Sartre yg ia cintai? Apakah de Beauvoir juga telah menghitung kerugian yang dideritanya tidak menyandang sebutan janda dari Jean Paul Sartre?
Ibu dan Ayah mengajari saya arti cinta dan keluarga. Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre mengajari saya bahwa saya wanita yang akan menemukan laki – laki dan tidak akan melewatkannya begitu saja. De Beauvoir penulis wanita yang hebat, Ia mengerti benar apa itu cinta, mencintai dan dicintai. Kemudian saya belajar untuk cinta, mencintai dan dicintai.
Ibu dan de Beauvoir dua wanita yang lahir tanggal 9 Januari. Selamat hari lahir.
Di pikiran saya Ibu dan de Beauvoir sedang saling tersenyum. Melihat tulisan saya dari dua referensi hidup, yakni membaca manusia dan membaca pustaka.
Jakarta, 140109
Untuk Ibu
Dari Arfika
A motivating discussion is definitely worth comment. I think that you ought to write more on this subject matter, it may not be a taboo subject but typically people do not talk about such topics. To the next! Best wishes!!