Sayako melambaikan tangannya pada kami yang sudah terduduk rapi pada bus yang akan membawa kami ke Kanxai. Perempuan usia 20-an dengan rambut coklat sebahu, kulit langsat dan mata khas orang Jepang adalh host fame kami selama beberapa waktu terakhir di Kobe Jepang. Waktu itu bulan September ketika musim gugur sedang menyapa Kobe. Pohon-pohon terlihat berubah warna menjadi coklat di badan-badan jalan. Matahari begitu terik bersinar dengan sinarnya membuat kilauan di teluk-teluk Kobe. Setelah acara di universitas Hyogo Kobe, hari itu kami berpindah ke rumah Sayako yang diawali dengan pertemuan dengan Mamanya. Wanita usia sekiatr 40-an dengan rambut pendek yang sangat lovable. Kami berempat sangat beruntung bisa menjadi tamu di rumahnya yang terletak di kaki bukit salah satu distrik di Kobe. Beberapa waktu hidup serumah dengan mereka menjadi sebuah bagian catatan mengulik budaya mereka yang berbeda dengan kita.
Rumah Ala Doraemon
Rumah dari kayu dengan dua tingkat yang terdiri dari beberapa ruang. Pasti ini sangat berbeda dengan rumah orang-orang Indonesia yang luas, apalagi orang Jawa dengan joglo-joglonya. Rumah keluarga Sayako ini persis mirip dengan yang ada di kartun doraemon. Masih ingat dengan tangga kayu menuju ke kamar nobita? Sebuah almari geser di dinding tempat tidur doraemon? Seperti itu pula yang kami jumpai di rumah Sayako. Sebuah almari dinding itu difungsikan sebagai tempat penyimpan kasur tidur yang akan digelar ketika akan tidur dan dilipat tak kala pagi menjelang. Mungkin agar menghemat ruang dan melapangkan rumah yang tidak begitu besar tersebut. Rumah yang kami inapi ini mungkin seperti perumahan di kota-kota jaman sekarang, dengan kamar mandi yang tidak begitu besar, ruang makan dan dapur yang menyatu dan sebuah ruang keluarga yang sekaligus sebagai ruang tamu. Di rumah Sayako hanya ada ia, Mama dan Papa saja sebab kedua kakaknya telah berpindah ke Tokyo dan Ke Sydney waktu itu.
Budaya Bawa Bekal
Selama kami disana dan ketika berpergian Mama tidak pernah absen membuatkan onigiri sebagai bekal kami. Nasi yang dibungkus dengan rumput laut itu lalu dimasukkan ke kota makan tahan panas. Selama disana pula kami jadi belajar membuat onigiri dengan bentuknya yang kadang berhasil kadang juga gagal. Selain membawa makanan kami juga selalu dibawakan air putih dalam botol-botol. Sepertinya budaya bawa bekal ini memang diterapkan karena harga makanan dan minuman yang mahal supaya kami lebih hemat begitu katanya.
Hiking Tak Kenal Usia
Kalau dalam kartun doraemon ada bukit-bukit kecil di belakang sekolah Nobita, landscape Kobe pun tak jauh beda dengan visualisasi kartun tersebut. Kebetulan saat kami sedang disana Sayako memiliki janji untuk hiking bersama teman-temannya. Di Jepang hiking benar-benar menjadi sebuah hobi yang umum, bukan milik orang-orang tertentu seperti orang Indonesia (padahal gunung kita lebih banyak ya). Tanpa berpikir panjang kami pun ikut hiking dengan Sayako bersama teman-temannya (mumpung sedang di Jepang kan?). Sebenarnya yang didaki pun bukan gunung yang tinggi, hanya perbukitan di betas kota. Ada hutan-hutan kecil dengan sungai-sungai jernih yang mengelok turun dari hulu. Di sisi sungai yang kami temui ada sebuah kuil kecil khas orang Jepang. Waktu kami datang kesana alangkah terkejutnya bahwa ternyata banyak manula yang hiking di tempat itu. Bahkan mereka terlihat begitu bugar tidak seperti kami anak muda Indonesia yang kelelahan (jarang olahraga sih). Itu menjadi pengalaman yang menarik, mungkin itu juga alasan orang-orang Jepang sehat karena mereka rajin hiking.
Sepatu Kets, Payung dan Topi
Ketiga barang tersebut tersusun rapi di sudut pintu persis bawah tangga. Ya, kita semua sudah tahu bahwa budaya jalan kaki merupakan salah satu budaya orang di negeri matahari terbit ini. Sewaktu kami disana jalan kaki dari stasiun ke rumah adalah hal yang sehari-hari kami lakukan. Sebetulnya ada bus yang berkeliling kota, cuma kami sekalian hemat dan menikmati jalan akhirnya kami selalu memilih jalan kaki (padahal jaraknya lumayan). Budaya jalan kaki ini memang benar-benar terlihat apalagi saat pulang kerja dan berangkat kerja, bisa dibayangkan arus orang-orang yang bertukar badan jalan saling menunggu lampu merah.
Mau Pergi? Lihat Ramalan Cuaca
Sewaktu kami disana pernah satu hari dimana rencana itu terpaksa batal karena ramalan cuaca yang katanya tidak bersahabat. Mama, Papa dan Sayako kompak melarang kami pergi karena ramalan cuaca tersebut. Kalau di Indonesia ramalan cuaca barangkali hanya sebagai bagian yang dianggap sepintas lalu, tapi bagi orang Jepang hal ini penting sekali. Dan, rupanya benar saja sepanjang hari angin kencang dan hujan besar mengguyur.
Tak terasa hari kepulangan kami pun tiba. Rumah di perbukitan itu harus kami tinggalkan. Ada sebuah teori tentang kurva U yang berkaitan dengan adaptasi, mulai dari euforia, shock culture, adaptasi hingga stabil. Perjumpaan kami dengan keluarga Sayako barangkali hanya sebentar, namun memberikan kesan yang begitu mendalam. Setiap tempat selalu memiliki cerita, setiap budaya selalu memiliki sisi istimewa. Hey, bagaimana kalau kita berjalan lebih jauh wisata ke Jepang? Let’s explore #AmazingJapan! HAnavi!