Membaca #AromaKarsa membuat saya ingat dengan Edward Hall yang tak lain ialah salah seorang pengemuka teori terkait dengan proxemics dalam teori komunikasi. Proxemics mengacu pada penggunaan jarak dalam komunikasi, yang dalam hal ini masuk dalam komunikasi non-verbal. Hall menggambarkan terdapat delapan faktor yang mungkin memberi pengaruh bagaimana ruang digunakan ketika orang berinteraksi dalam percakapan, salah satunya adalah ‘olfactory code’ atau sandi penciuman. Dalam percakapan ada yang disebut dengan Olfactory Code yang berhubungan dengan faktor berkenaan dengan jenis dan tingkatan bau yang diterima dalam percakapan. Sampai disini sepertinya Jati Wesi akan mulai tertarik, Tanaya Suma dan Raras Prayagung masih memperhatikan dengan saksama, Prof. Lambang masih mendengarkan tapi entah dengan Pak Iwan mungkin sudah tidak sabar.
#AromaKarsa Membumi Dan Suksesnya Jembatan Imaji
Jati Wesi, Tanaya Suma, Raras Prayagung, Pak Iwan, Prof.Lambang merupakan beberapa nama yang ada dalam Aroma Karsa tulisan Dee Lestari setebal 696 halaman. Membaca Aroma Karsa tidak akan seperti serial ‘Supernova’ yang membutuhkan segenap pemahaman teori fisika kuantum atau penjelajahan imajinasi mega fantasi. Aroma Karsa Dee begitu membumi dan mudah untuk dinikmati. Mungkin ini sebagai perjalanan Dee yang mampu membuat sebuah cerita sehangat kumpulan cerita Rectoverso tapi tetap berisi padat seperti Partikel. Karakter kuat merupakan salah satu kemampuan Dee dalam menuliskan setiap tokohnya termasuk dalam Aroma Karsa. Penuturan Jati Wesi, pemikiran Tanaya Suma, tak tertebaknya seorang Raras Prayagung, hingga seorang Khalil yang peyayang dan pecinta yang kebingungan dengan rasa walaupun ia mahir dalam membau. Kepiawaian Dee dalam meramu cerita mengambil latar belakang Majapahit terasa membuat cerita ini begitu dekat dan bisa menjelma menjadi mitos baru. Mungkin ada hubungannya beberapa siaran televisi yang telah mengangkat cerita seperti Angkling Darma, Misteri Gunung Merapi membuat Dwarapala, Empu Smarakandi, Sinom, maupun Banaspati tidak lagi terlalu sulit digapai dalam jembatan berpikir merangkai cerita.
Ambisi Tercium Tajam Dalam #AromaKarsa
Jalinan cerita #AromaKarsa mampu berpilin dalam sebuah not not yang alami. Setelah dipikirkan berulang kali barangkali jawabannya adalah ambisi. Jati Wesi, Tanaya Suma, Raras Prayagung, Janirah Prayagung, Pak Iwan, Prof. Lambang termasuk Puspa Karsa saling menjalin cerita tersebab oleh ambisi masing-masing. Bahkan ambisi mereka bukan untuk Puspa Karsa tapi, untuk diri mereka sendiri. Ada pertanyaan-pertanyaan dan tantangan termasuk juga pemenuhan yang membuat mereka saling berinteraksi. Jati Wesi tidak memiliki ambisi pada Puspa Karsa, ia bertanya tentang dirinya sendiri. Tanya Suma tidak pernah menanyakan dirinya sendiri, tapi ia memiliki ambisi untuk membuktikan diri. Raras Prayagung tidak menanyakan dirinya sendiri, ia lekat dengan keinginan untuk melebihi seperti perkataan Khalil Batarvi di halaman 247 “sejauh yang Khalil kenang, ambisi adalah salah satu ciri yang paling memukau sekaligus menakutkan dari perempuan itu”. Prof. Lambang tidak mencari keinginan melebihi, namun ia tertarik dengan misteri. Kapten Jindra tidak tertarik dengan misteri, tapi ia memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi. Pak Iwan tidak memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi, tapi ia suka diiming-imingi. Puspa Karsa? Ya, seperti Dee tuliskan dia memiliki kehendak sendiri.
Sensasi Membaca #AromaKarsa
Nagih. Sepertinya kekuatan Puspa Karsa ada di dalam buku ini karena setiap lembarnya seperti ingin dibuka lagi dan lagi hingga habis masih ingin ditambah lagi. Naik turun plot dalam Aroma Karsa membuat pembaca penasaran dengan kisah Jati Wesi dan Tanaya Suma. Semakin ke belakang adanya kilas balik termasuk cerita-cerita yang melatar belakangi membuat kuat dan penasaran. Bagi mereka yang suka sejarah, dongeng barangkali akan sangat menyukai bagian-bagian ini. Dan, pertanyaan besarnya ialah tabiat Puspa Karsa yang berhasil dibuat naik turun bahkan membuat membaca berulang kali untuk memastikan bagaimana cerita Puspa Karsa pada masa lalu.
Pertanyaan
Dalam interpretasi saya selalu berupaya mencari apa fenomena padanan yang tepat dalam setiap cerita. Capitol dalam Hunger Games misalnya adalah negara maju, distrik-distrik merupakan negara berkembang. Tapi, untuk Aroma Karsa saya masih bingung apa dia sebenarnya. Apakah dia semacam ideologi? Saya masih bertanya apa sebenarnya keinginan Puspa Karsa untuk eksis di dunia manusia. Jika dia keburukan tapi berwujud rupawan lantas apa dia? Entahlah.
Re-Read
Semua buku Dee selalu layak untuk dibaca kembali.
Dalam #AromaKarsa
“Aku ini pencuri, Raras. Bukan pencuri sembarang. Aku cuma mencuri yang benar-benar berarti.” – Janirah Prayagung, hlm 4.
“Orang-orang paling berbakat adalah jenis yang paling susah diurus,” Khalil Batarvi, hlm 246.
“Ada orang yang tercipta menjadi elang. Ada yang memang Cuma jadi bebek. Ducks work better for the industry. That’s why there are plenty of them in the world while the eagles go extinct.” – hlm 258.
Orang Perancis tidak takut pada aroma terburuk sekalipun, karena itu kami menjadi peramu wewangian terbaik. – hlm 262.
Bagaimana mungkin seseorang punya kesanggupan semacam itu kalau bukan kejiwaannya yang terganggu? Bagaimana mungkin seseorang punya kekuatan mencerna semua itu jika bukan karena menikmatinya? – hlm 281.
“Tekanan adalah kondisi yang bisa membentuk seseorang, Jati. Bukan Cuma gizi. Mereka yang tertantang sejak awal kehidupannya, bisa keluar jadi pemenang.” – hlm 504.
“Kalau Puspa Karsa sebegitu berbahaya, kenapa kita perlu melindunginya terus-menerus, Empu? Kenapa tidak kita musnafkan saja?” katanya lirih.
“Karena dunia ini bukanlah dunia jika tidak ada petaka. Sahyang batari Karsa selamanya bagian dari Alas Kalingga. Suka tak suka.” – hlm 571.