Under Adelaide Sky #DiBalikSecangkirKopi

“Tidak ada yang lebih menghidupkan selain dua orang yang bertemu karena saling menemukan, sama – sama berhenti setelah selesai mencari. Tak akan ada yang akan pergi, sebab tahu bagaimana sulitnya mencari,” kataku padanya mengutip sebuah frasa di suatu malam dua bulan lalu di balkon apartement ini. Kilau lampu ibu kota menghias di bawah sana terbias dari bola mata hitamnya yang seketika membulat penuh. Dan, tepat malam itu dia mengangguk setuju sambil mengaduk Latte Macchiato favorit kami.

Harusnya malam ini sama dengan malam – malam yang sudah kami lewati dengan beberapa tumpuk buku, saling bercerita kadang hingga berdebat. Dan, ada dua mug Latte Macchiato yang terduduk di atas meja. Hawa dingin mulai berjingkat sisa hujan sore tadi, dan Latte Macchiato-ku sudah tidak sepanas sejam yang lalu saat kamu menyodorkan padaku. “Apa yang kamu pikirkan?” batinku dalam hati masih memandangimu yang kini terdiam hampir di menit ketiga setelah aku mengatakan berita itu.

Dia masih terdiam di menit berikutnya. Jujur saja ini menjadi janggal karena aku memang sudah lama tidak pernah memiliki kekasih, hampir empat tahun yang lalu. Saat ini aku hanya merasa begitu bahagia karena hampir bersamaan dengan mimpiku yang terwujud aku bertemu dengan perempuan yang – aku yakini menjadi ibu bagi anak – anakku. “Apa yang dipikirkan oleh seorang kekasih yang akan ditinggalkan kekasihnya?” batinku lagi.

Aku ingat pertama kali bertemu dengannya suatu sore di sebuah perpustakaan pusat kota. Awalnya kami hanya berebut sebuah buku kemudian berakhir di meja kafe kopi dengan Latte Macchiato yang menguap saat kami terlibat berbagai cerita. Setelah sepakat untuk menghubungi setelah selesai membaca, kami akhirnya bertemu dalam beberapa kali kesempatan.

“Nes, are you ok?” kini aku mencoba memutus canggung yang bisa tercipta jika senyap menguasai lebih lama.

Dia masih tediam. Aroma Latte Macchiato yang biasanya membuatku tenang kini tak banyak membantu diriku sendiri.

“Hmmm, iya. Selamat ya,” ucapnya tiba – tiba setelah aku mengambil surat penerimaan sebuah perusahaan dari atas meja.

“Kamu keberatan?” tanyaku. Kini nada suaraku yang awalnya bahagia berubah lebih datar.

“Nggak, aku ikut bahagia,” jawabnya dengan seulas senyum yang baru aku temukan malam ini.

“Kamu bisa menyusulku setelah tesismu selesai,” sambungku mencoba menutup gelisah yang bisa jadi sedang menyergap hatinya.

Dia hanya mengangguk kemudian terdiam sampai aku pulang kami hanya berbicara beberapa patah kata.

Sudah hampir seminggu Adelaide resmi menjadi rumahku. Nama – nama semacam Lobethal, Birdwood, Pooraka, Hanndroof atau One Tree Hill tiba-tiba menjadi akrab di telinga menggantikan Sudirman, Semanggi atau Gatot Subroto.
Things won’t be the same without you, Anes,” gumamku pagi ini ketika merapikan tumpukan buku.

Dua hari sebelum keberangkatanku kami bertemu.
“Nes, jangan diemin aku terus kayak gini dong. Dua hari lagi udah berangkat, aku nggak mau kamu kayak gini terus,” protesku padanya.

Aroma Latte Macchiato favorit kami menguar bersamaan dengan kegelisahanku.
“Aku takut Cef,” desisnya lirih.
“Takut apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Ditinggalkan adalah perasaan yang membingungkan. Dan, aku sudah takut ditinggalkan lagi. Tapi, aku tahu semestinya aku tidak seegois itu,” ungkapnya datar.

Aku terdiam. Aku pun tahu persis perasaan itu. Dulu pun aku pernah merasakannya.

“Nes, aku pergi bukan buat ninggalin kamu. Apalah arti jarak, ruang dan waktu asalkan kita saling percaya. Seperti kepercayaan kita akan rasa Latte Macchiato yang sama berapapun kali kita meneyeduhnya,” Aku mencoba menatap matanya untuk meyakinkan.

I’ll let you know what’s on my mind. I wish they’ve made you portable. Then i’ll carry you around and round. I bet you’ll look good on me.” Ku coba bernyayi dengan suara pas – pasan untuk mencari tatapan percaya gadis dihadapanku.

“Beda waktu kita juga hanya 2,5 jam, ya kadang kalau musim ganti bakal 3,5 jam. Makanya jangan sering – sering kangen sama aku,” candaku padanya.

Suhu 19o C kembali terasa ketika aku duduk di salah satu kafetaria outdoor setelah hampir seharian berdiam di Mortlock Wing perpustakaan kenamaan Adelaide.

“Nes, semua akan tetap sama. Kita masih ada dibawah langit yang sama, bahkan aroma dan rasa Nescafe Latte Mocchiato yang sama,” kataku di malam terakhir sebelum aku berangkat.

I’ll be looking at my window seeing Adelaide sky
Would you be kind enough to remember
I’ll be hearing my own foot steps under Adelaide sky
Would you be kind enough to remember me

Tepat ketika aku memutar ‘Adelaide Sky’-Adhitia Sofyan sebuah pesan masuk dalam poselku.

Anesa Skyla
Cef, kamu harus nyobain Latte Machiato Caramel ! kayaknya ada deh di Adelaide.

Aku tersenyum geli. Ku kira pesan kangen yang mendayu – dayu.

Me
Iya. Karena aku baru hidup jika ada kamu dan kopi dibawah langit yang sama.

Anesa Skyla
Dih Gombal !!!!

arfika.com


Arfika Pertiwi Putri

@arfikapertiwi
Semarang, 141129

20.36
Inspired by Adelaide Sky – Adhitia Sofyan
Some of article about Adelaide and Nescafe

Gambar diminta dari sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *