‘Bembang’ dan Naira

Dante menghela nafas pelan memandang awan biru dan lautan yang sama birunya. Pohon johar rimbun memagari rumah tepat di sebelah sekolah Belanda dan berjarak seratus meter dari kantor gezaghebber, kepala pemerintah setempat. Belakangan ia tahu bahwa rumah ini disewa dengan harga f 12,5,- per bulan untuk ia dan beberapa tahanan buangan politik lainnya. Dua bulan yang lalu telegram dari Ambon, Kapten Wiarda membuatnya bisa berdiri di pulau penghasil Pala dan Cengkeh itu. Banda Neira.

Tiga bulan yang lalu tokoh buangan politik atau sebagai orang “bembang” di tanah Banda adalah Hatta dan Sjahrir. Benar memang tentang banyak kabar bahwa Banda memang lebih manusiawi dan beradab dibandingkan Digul. Sudah hampir seminggu Dante membereskan tempat tinggalnya, beberapa kali pula ia telah bertemu dengan senior politiknya sekedar bertandang dan memberi kabar teman – teman seperjuangan di Digul. Sore ini ia ingin berkeliling pulau sembari melepas penatnya setelah hampir seharian membaca buku dari seniornya dan membantu koperasi yang diprakarasai Hatta, Sjahrir dan Iwa.

Hamparan kebun Pala terhampar sejauh jangkauan pandang, Pulau Gunung Api di seberang Pulau Banda dengan suara deburan ombak Banda Neira. Dante berkeliling hingga ke kebun Pala bagian utara pulau. Matahari sudah seperti kuning telor di ujung barat Banda, banyak pemetik buah pala yang hendak mengakhiri kerja mereka. Sudut matanya menangkap gerakan dari pohon Pala yang baru saja ia lewati.

“Bolehkah saya bantu?” tanyanya ketika melihat seorang perempuan dengan keranjang dibahunya. Awalnya perempuan itu begidik seperti menolak, namun Dante kemudian mengambil kayu dari tangan perempuan itu.

“Terimakasih Tuan,” ujar perempuan itu membuang muka sembari mengambil lagi kayu pemetik pala dari tangan laki – laki asing di hadapannya.

“Panggil saya Dante, saya bukan orang Belanda,” sahut Dante kemudian.

“Apa bedanya? anda bukan orang Belanda tapi anda bekerja untuk mereka,” dengus perempuan itu hendak berjalan meninggalkan Dante. Kulitnya yang bersih seringkali membuat Dante terlihat seperti peranakan Belanda dengan orang Indonesia.

“Saya ‘bembang’ seminggu yang lalu saya baru tiba dari Digul,” jelas Dante tidak terima dikira berkerja untuk Belanda.

“Anda tinggal bersama Tuan Hatta dan Iwa Koesoema?” perempuan itu menghentikan langkahnya.

“Mereka guru saya,” jawab Dante dengan nada datar. Ia bersiap untuk meninggalkan pohon Pala itu dan perempuan yang telah menuduhkan bekerja untuk Belanda.

“Oh ya, Tuan Hatta juga sering berkeliling hingga kemari biasanya beliau datang tepat pukul lima,” ujar perempuan itu sembari berlalu.

………………….

“Aku sebal sekali mendengar tuduhanmu kalau aku bekerja untuk para penjajah itu,” kenang Dante pada perempuan di sebelahnya. Angin laut Banda menhantamkan ombak di karang – karang, warna jingga kemerahan terbingkai perbatasan. Sebulan setelah kejadian itu Dante bertemu lagi dengan perempuan pemetik buah Pala itu ketika Ny. Tjip membawakan ramuan obat untuknya.

“Anggaplah ramuan buah pala itu bagian dari permintaan maafku telah menuduhmu,” sahut perempuan itu ia duduk disebelah keranjang pala, belakangan Dante mengenalnya dengan nama Naira.

Myristica fragans memang buah ajaib. Kegunaannya sudah termasyur sejak jaman Romawi. Pernahkah kau dengar kisah pendeta Romawi yang gemar membakar dupa dari pala? Atau para rahib Santo Theodorus yang selalu memercik-mercik minyak pala di atas puding kacang polong sebelum disantap? Pala bahkan dianggap mampu mengusir wabah pes dan penyakit menular pada abad pertengahan di Inggris. Apakah ibumu yang mengajarkan ramuan itu?” cerita Dante kemudian.

“Bukan, itu hanya kebiasaan dari penduduk disini. Ah buah itu memang buah surga, Yang Maha Kuasa nampaknya tidak sengaja menjatuhkannya dari surga,” ungkap Naira kali ini sembari melempar pandangannya ke tumpukan awan yang warna putihnya tercemar kekuningan.

“Tak heran jika harga pala di Eropa saat itu membumbung, lebih mahal dari emas. Inilah yang mengundang petualang mirip Francisco Serrao, Vasco de Gama hingga Jacob van Heemskerk merasa perlu mendatangi Banda langsung untuk mendapatkan pala dari tangan pertama. Untung yang mereka raup bisa lebih 1000%. Sebanding dengan nyawa yang mereka pertaruhkan saat mengarungi ganasnya lautan dan menembus badai di Tanjung Harapan,” lanjut Dante lagi. Inilah yang kemudian disukai oleh Naira, mendengar laki – laki ‘bembang’ itu bercerita banyak hal. Yang diam – diam paling ia rindukan mereguk banyak cerita dari laki – laki itu sembari menikmati senja di ujung pulau selepas memetik pala.

“Mereka rakus dan kejam. Ehmm…..kau tau ada kisah tentang asal muasal buah pala,” celetuk Naira.

“Oh ya? Apa?” Dante tertarik mendengarkan.

“Dulu dikisahkan Putri Ceilo Bintang yang cantik jelita, putra Raja Mata Guna dan Putri Delima. Suatu hari putri ini mengharuskan pelamarnya, Putra Mahkota Kerajaan Timur, membawa seribu batang pohon pala. Sayang, ketika menuju Pulau Banda Besar, tepatnya di Lonthoir, putra mahkota terbunuh. Pohon pala pun tumbuh subur di tanah itu. Memilukan namun membawa keindahan.” Naira mempermainkan pasir dan buah pala ditangannya memindahkan dan memungutnya kembali.

“Selalu begitukah kisah cinta?” sambung Naira lagi.

“Ahahaha entahlah aku tidak pernah jatuh cinta,” tawa Dante pecah bersamaan pecahnya ombak dibibir karang. Naira terhenyak kemudian.

“Mana mungkin aku bersenang – senang jatuh cinta padahal bangsaku masih jatuh di tangan bangsa lain?” ungkap Dante dengan nada miris.

“Seminggu yang lalu kami mendapatkan telegram, mungkin bulan depan kami akan segera pulang ke Batavia,” jelas Dante yang sibuk melempar beberapa karang ke arah lautan Banda.

Naira lagi – lagi terhenyak kini ia terdiam lebih lama.

“Kau harus pernah ke Batavia,” kata Dante lagi.

“Aku harus pulang, sudah hampir gelap,” pamit Naira membawa keranjang pala yang tergeletak disebelahnya. Bola mata Dante membuntuti kepergian perempuan itu hingga habis di ujung pulau.

……………………..

Baru saja habis orang kaya – kaya membawa peti – peti buku Hatta sebelum akhirnya kapal menuju Batavia itu lepas di lautan Banda. Pagi itu suasana begitu cerah, ada rasa lega di hati para ‘bembang’ sebelum lepas dari pelukan pulau Banda mereka tersenyum sejenak berterimakasih.

“Aku pikir kau akan ikut ke Batavia,” celetuk seseorang yang mendapati Naira duduk di rumah peristirahatan pemetik pala.

“Memangnya beta ini siapa?” ia meneguk habis air putih yang ia bawa dari rumah.

“Kau menyukai laki – laki itu kan? bukankah sebetulnya kalian sudah teramat dekat?” tanya kawannya yang lain.

“Bukan, kami hanya sekedar kawan,” ungkap Naira singkat.

“Sudahlah tak usah berkilah, kau selalu bahagia tiap ia datang dari belokan. Wajahmu riang tiada terkira,” kawannya kini tak mau kalah.

“Kalau aku menyukainya toh dia tidak menyukaiku,” Naira tertunduk lesu.

“Apa kau pernah bertanya padanya?” selidik kawannya yang lain.

“Tidak, hanya saja aku tahu prinsip yang ia yakini. Lagi pula aku sudah tahu suatu hari dia akan kembali ke Batavia, mana mungkin ia tinggal selamanya disini,” air muka Naira mendadak pilu.

“Karena aku terlalu tahu dia tak mungkin tetap tinggal, oleh karena itu sejak lama aku sudah paham akan perpisahan,” gumamnya lagi.

“Alamak, putri Naira melamar pangeran Dante membawa seribu buku namun sayangnya Putri Naira terbunuh oleh pemahamannya sendiri,” sahut kawannya sembari tertawa.

Kapal yang kini menjauhi daratan Banda membawa serta kisah yang tak pernah tersampaikan hingga merah putih bebas berkibar di penjuru negeri.

hay, Banda Neira

Arfika, 11.21 PM

Ini cuma fiksi, terinspirasi dari Novel HATTA – Sergius Sutanto dan beberapa blog tentang Banda Neira. Tentang pulau dengan seribu cerita, tentang banyak cerita diantara banyak cerita.

2 thoughts on “‘Bembang’ dan Naira

  1. Mantap.. saya suka ceritanya.. permulaannya sudah bagus tinggal dikembangin menjadi sebuah Novel. 🙂

    1. terimakasih untuk kunjungannya Isra Al-Amin,
      amien doakan semoga bisa menjadi novel suatu hari nanti 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *