Chord Chemistry

C…Am…F…G…Am….adalah chord petikan gitar yang aku dengar dari hall utama mencuri perhatianku dan membuatku bersenandung. Otakku berpikir keras mencari judul dari lagu tersebut. Alih alih aku menemukan jawaban itu di kepalaku, karena indra penglihatanku langsung menyedot perhatian.

Sebuah gitar berwarna coklat tua asal sumber suara itu di pangkuan seorang laki-laki. Laki-laki Indonesia. Konferensi ku ke Ceko kali ini memang tetap mempertemukan dengan beberapa orang Indonesia. Hanya saja, mendengar lagu Indonesia di benua biru selalu membuat kangen. Ya, kangen seperti judul dari lagu yang sedang ia bawakan.

Jarinya yang lentik dengan lincah berpindah memetik sinar tipis gitar. Rambut hitamnya sesekali mendayu saat ia bergerak. Dan, tidak terkejut dengan batik yang melekat di badannya karena tentu membuat lebih terasa Indonesia. Karena terbawa oleh lagunya tanpa sadar aku sudah duduk di salah satu kursi paling depan di sisi kanan. Beberapa detik kemudian mata kami bertemu.

Aku tersenyum kikuk.

****
Papan papan berdiri miring menjorok tiga puluh derajat menyerupai pilar yang berbaris menyambutku tak kala keluar dari hall. Ada waktu 30 menit selama istirahat untuk melihat paper yang disajikan hari ini dalam bentuk poster. Aku membaca beberapa poster yang ada. Walaupun bukan ilmu sosial aku tetap penasaran dengan bidang ilmu lain, mungkin karena aku memang diciptakan jadi omniscience?

“Hai… anda tertarik dengan kimia katalis?” ujar seseorang tiba-tiba.
Kedua bola mataku masih sibuk memindai poster dengan judul “the Catalytic Properties of Copper…..” tentu terkejut dengan sapaan tak terduga apalagi dengan Bahasa Indonesia.
“Oh.. hai…” aku menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya aku bahwa manusia di sebelahku adalah laki-laki bergitar di depan tadi.
“Hai….” bola matanya menatapku sembari tersenyum.
“Rujendro…” ia menyodorkan tangannya ke arahku. Kami berkenalan.
“Lagi Ph.D dimana?” tanyanya padaku.
Aku tergelak. Menggeleng pelan, pasalnya aku memang belum menjadi mahasiswa Ph.D saat ini.
Di ber-oh pelan.
“Anda?” tanyaku.
“Di Berlin…” jawabnya.
Sebenarnya sebelum dia datang aku sempat mencari tahu dari mesin pencari nama pemilik poster yang aku baca. Dan, dialah yang menulis paper itu. Oh God kami seumuran dan dia sudah doctoral.
“Sudah berapa lama di Jerman?” tanyaku basa basi.
Almost 4th, nggak kerasa banget….” Ceritanya.
“Wow… dengan semua kerumitan ini?” tanyaku sambil menunjuk poster yang berisi rumus-rumus kimia yang lebih mirip dengan mie yang keriting.
Dia mengangguk dan tersenyum simpul.
“Hebat.. aku dulu nyelesein soal redoks aja pusing…” kataku. Ya, dulu aku dari jurusan IPA saat dibangku SMA.
Dia tertawa kecil.
“Nggak apa-apa ko, lebih sulit memahami hati Wanita…” katanya kemudian.
Aku tergelak.
“Nggak sesulit itu, kalau nyelesein misteri kimia yang rumit aja bisa apalagi soal Wanita kan?” ujarku.
Dia tersenyum tipis. “Kesini sama siapa? Suami?”
Aku menggeleng pelan, “I’m not married yet…
“Kok bisa? Kamu kan manis.. pasti punya pacar…”
Aku terperangah. “Ada ya mas-mas MIPA baru pertama ketemu langsung gombalin cewek…”
Why not?”
“Biasanya tuh mas-mas MIPA pendiem, introvert, nggak enak diajak ngobrol, isinya nge-Lab gitu…”
“Sialan distreotype-in…” umpatnya.
“I’m sorry….”
Kami tertawa bersama.
“Iyaa… aku udah ngelihat culture kayak gitu dari zaman baheula.. makanya aku mau mengubah perspective .. kalau nggak selamanya orang yang belajar eksak itu harus selalu cupu, pake celana gantung sandal gunung, yang tempat mainnya ke perpus atau gak pernah pacarana karena nggak sempat mikir hal hal kayak gitu..karena you Only live Once nggak sih?”
Aku tertawa pelan mendengar penjelasannya yang panjang lebar. Dan, tiba-tiba membuat nyeri di dadaku. Ya, kita hanya hidup sekali bahkan aku belum berani untuk jatuh cinta lagi.
“Kalau kata bunda Corla mah, punya uang banyak ya dihamburin dong!” sambungnya lagi.
“Ups.. sorry kesannya menggurui ibu…”
“Dih kenapa jadi manggil ibu? Emang aku kayak ibu ibu?” protesku pura-pura.
“So, aku bisa manggil kamu siapa?”
“Cinta…” jawabku asal.
“Cinta? Really?” tanyanya balik.
Aku tertawa kecil dan menyerahkan sebuah kartu namaku.
“Ah.. I see… berapa lama di eropa?”
“Dua minggu, ini minggu keduaku.”
“May I invite you for dinner?
Aku terdiam beberapa detik sampai mengatakan ya. Bukan apapun, aku rasa menyenangkan untuk memiliki seorang tour guide di kota yang bahkan kamu tidak tahu banyak.

You can’t marry a man you just met…” itu adalah kalimat yang ada di dalam otakku selama kami berdua menyusuri christmas market, mengunyah jagung rebus, atau melihat dekorasi natal yang romantis di eropa.

“But God?” tanyaku lagi dalam hati sambil melihat langit dimana salju turun tiba-tiba.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *