Namanya Laksmi, perempuan, 62tahun, masih energik dan bersinar. Kamis, 19 November 2015 yang lalu dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Solo dengan Argo Lawu saya bersebelahan dengan beliau. Dengan sepatu kets, kaos yang santai beliau duduk disamping saya dan entah bagaimana bisa saling bercakap pertama kali. Saya ingat betul dari yang saya tanyakan, dengan polos “ibu usia berapa?”.Konon katanya usia itu sangat sensitif ditanyakan, tapi bukankah usia juga bisa menjadi suatu kebanggaan? Hari itu saya tahu, usia adalah sebuah kebanggaan jika kamu tahu seberapa dalam hidup.
Kemudian kami yang berbeda generasi saling bercakap, selebihnya saya banyak terkagum. “Saya tadi baru saja dari Kuala Lumpur, terus karena ada janji dengan teman yang sudah saya anggap anak sendiri saya naik kereta ke Solo,” ujar Bu Laksmi sambil melepas kacamatanya. Berikutnya beliau menuturkan banyak hal terkait dengan pekerjaannya saat ini di bidang forensik. Decak kagum makin tak dapat dibendung karena dalam usia beliau masih aktif melakukan ini dan itu.
“Bersyukur, berusaha, dan berserah,” pesannya pada saya mengenai apa yang digaris bawahi dalam menjalani hidup selama 62tahun.
Saya jadi tersadar benar tentang usia saya yang barangkali masih 23tahun. Masih sangat muda untuk bisa melakukan banyak hal. Masih terlalu muda untuk menyerah pada berbagai hal pula. Kemudian saya mendengarkan cerita cukup panjang terkait dengan anak, cucu, perjalanan haji dan juga perjalanan beliau ke berbagai belahan dunia setelah suami meninggal. Termasuk masa – masa kehilangan. Mungkin benar kata Bang Tere, “dua orang yang mencintai dengan baik, maka ketika salah satunya pergi akan membawa separuh hatinya.”
Saya menangkap masa muda dan bekerja keras untuk hidupnya selama ini. Pastinya banyak benar pelajaran sari pati hidup yang sudah beliau lalui dan kini termiliki.
“Yang tertunda itu belum tentu tidak ada,”
ketika beliau menceritakan perjalanan tentang kesempatan berkunjung ke Amerika, Australia, dan beberapa negara di Asia. Kemudian saya jadi ingat kekekalan mimpi. Mimpi itu tidak pernah musnah, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Ya, perjalanan saya bahkan baru 1/3 dari perjalanan beliau. Saya masih muda, masih naif, labil dan masih terus berlatih seni hidup.
Sewaktu saya duduk di dekat beliau saya merasakan aura semangat luar biasa. Saya bertanya banyak tentang hobinya, Ibu Laksmi menjawab membaca buku serta hobi meramu jamu adalah beberapa hal yang beliau lakukan terkait dengan aktivitasnya. “Forensik Singapura itu keren sekali lho, Mbak. Indonesia itu masih ketinggalan,” cerita beliau perihal kegiatannya sehari – hari yang kini aktif di bidang forensik di usianya yang berkepala 6.
Perjalanan saya ke Solo untuk mengikuti gathering netizen MPR RI mempertemukan saya dengan beliau, ibu Laksmi yang memberikan bacaan hidup yang lain. Sangat bersyukur malam itu kami bisa saling bercakap dengan keramahaman khas orang Indonesia. Stasiun Balapan pun menjadi tempat perpisahan kami. “Semoga sukses ya,” kata beliau kemudian.
Figur – figur perempuan Indonesia. Energik, cerdas, bergerak sesuai dengan perannya. Tidak meninggalkan perannya sebagai ibu, istri, perempuan maupun individu yang mengembangkan dirinya. Diam – diam saya berdoa semoga saya memiliki kesempatan menjadi perempuan Indonesia yang bermanfaat dan berperan secara baik minimal bagi pribadi dan keluarga.
“Jika kamu menyerah apakah kamu yakin semua akan menjadi lebih pasti?”
“Allah never said the road would easy, but Allah said “I will be with those who have patience”
Go on, getting older with better character