Konon pengembaraan ini sangat panjang dan entah kapan akan berakhir-tidak ada yang tahu kecuali Dia. Lebih memayahkan tersebab aku miskin bekal dalam pengembaraan, andai bisa aku putar waktu ingin rasanya lebih banyak menabung bekal daripada dansa-dansi jumawa kesana-kesini. Sayangnya tidak boleh mengatakan ‘andai’ dan memang tidak bisa lagi waktu berputar ke belakang. Semua telah lewat, aku melewatkan setiap kesempatan yang dulu ada dalam setiap degupan dan tapakan. Aku bangkrut setelah pernah merasa kaya.
“Kenapa kau murung?” tanya tetangga sebelahku.
Aku terkejut olehnya. Namun, aku hanya bisa terdiam melihatnya yang begitu berbeda denganku. Nampaknya dia begitu bahagia, sejak dulu dia selalu tersenyum dan hampir setiap hari dihujani hadiah.
“Kita akan pulang sebentar lagi.” Sekali lagi wajahnya begitu cerah berpendar.
“Memangnya ada apa?” tanyaku singkat.
Dia menangkupkan tangannya ke dada. “Besok bulan Ramadhan. Kita diperbolehkan pulang, masa penuh berkah bagi semuanya termasuk kita.”
Aku terkesiyap. Ini adalah ramadhan pertamaku disini, bahkan aku tak tahu jika kami seperti ini diperbolehkan pulang. Aku masih ingat setahun yang lalu aku masih duduk menandatangani berkas-berkas yang belakangan banyak aku sesali.
Ternyata tetanggaku tidak berbohong-aku tahu dia memang salah satu orang jujur yang aku kenal. Saat seperti ini aku yakin sidang isbat baru saja digelar disalah satu gedung kementrian-aku jadi ingat salah satu sahabatku.
Tepat waktu matahari muncul di ufuk timur pintu pengembaraan kami dibuka oleh para penjaga. Aku ingin segera berlari dengan cepat-sungguh melegakan bisa sejenak pergi dari tempat pengembaraan itu.
“Akan pulang kemana kau?” tanya seorang penjaga padaku dengan tatapan yang sangat tajam.
“Aku punya banyak rumah, aku bisa pulang kemanapun,” ujarku tak peduli.
“Carilah rumah yang bisa memberimu hadiah, walau hanya sebutir kurma.” Suaranya lamat-lamat tertinggal di belakang.
Seperti aku katakan aku memiliki banyak rumah. Segala upaya dulu aku lakukan untuk bisa membuat hal itu menjadi nyata.
Waktu sudah menunjukkan pertengahan hari. Aku mencoba pergi ke rumah anakku yang pertama, aku punya beberapa cucu yang dulu sangat sayang padaku. Namun, yang aku lihat di rumahnya begitu kelam tidak nampak hadiah yang aku butuhkan disana. Menjelang ashar aku pergi ke anak keduaku, namun disana kosong tidak ada siapa-siapa mereka masih bekerja di kantor. Menjelang magrib aku mencoba menunggu di rumah anak ketigaku berharap aku bisa mendapat sedikit hadiah setelah mondar-mandir seharian.
“Hey, sudah magrib aku baru saja mendapat hadiah kecil dari anakku, seperti dapat takjil saja berbuka bersama mereka,” ujar tetanggaku-orang jujur di daun pintu sambil mengamati anak-cucunya yang terlihat khusuk berdoa.
Aku tercenung.
Speaker masjid menggema pelan terdengar kultum dari ustadz yang dulu aku kenal. “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau doa anak sholeh.”
Tuhan, jika aku masih memiliki raga aku akan mengajari anakku berdoa, tidak membeli rumah banyak tapi banyak bersedekah, menjadikan ilmu manfaat bukan siasat.
Bagaimanalah aku kini hanya arwah.
Wow, twist-nya asyik!
Satu kalimat akhir nggak perlu lagi menurutku.
Oh ya, jangan lupa cara penulisan “di” sebagai preposisi (dipisah) dan sebagai awalan (disambung).
makasih kak Oddie sarannya 😀