Grey Sky Collapse

08.00 a.m

Sewajarnya aku sudah ikut berebut ruas aspal ibu kota yang dijejali berbagai kendaraan setiap harinya. Semestinya aku sudah memakai outfit kantor yang dipadu dengan jas dan diawali sarapan roti yang tak pernah kusantap di meja makan. Alasannya sederhana, supaya nggak kena macet. Tapi, semua itu tidak bisa aku lakukan sejak berita itu memenuhi berbagai saluran. Naasnya aku tidak bisa melakukan apa – apa, kecuali seperti sekarang mematung di hadapan layar televisi. Kamu masih belum ditemukan.

11.00 a.m

“Tidur Za,” pinta Mama dengan nada khawatir. Sudah hampir empat hari memang aku tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali aku memejamkan mata yang ada di dalam benakku adalah kamu sedang di tengah lautan memakai pelampung dan sendirian terombang – ambing. Suara – suara dalam televisi yang tidak pernah kumatikan memenuhi pendengaranku. Berbagai akun berita online tidak berhenti menyebarkan berita yang sama, membombardir.

“Udah kamu berhenti aja jadi pramugari,” ujarku kepadanya saat pertama kali kami resmi bertunangan.

“Kok gitu?” tanggapmu dengan nada kaget. Aku tertegun dengan reaksinya.

“Biar nggak capek aja,” balasku sambil mengaduk kopi. Hari itu kami makan siang bersama sebelum dia melakukan perjalanan selama tujuh hari ke Australia.

“Abza, kamu kan tahu aku mencintai pekerjaanku bukan karena uang. Aku memang menyukai ini, jadi tolong jangan larang aku.” Bola mata hitamnya bergerak mengisyaratkan permohonannya.

“Aku khawatir sama kamu Lea.” Kini kami beradu mata menegaskan bahwa aku pun memohon kepada dia.

“Selain itu kamu bisa makan apa aja, menikmati semuanya nggak usah pilih – pilih makanan kayak gini. Lagi pula kamu nggak akan aku tinggalin meskipun naik 5kg,” tambahku lagi. Ya, aku memang tidak menyukai pola makannya yang serba irit, serba mungil. Menurutku Lea akan tetap cantik meskipun pipinya bertambah sedikit cubby.

“Za, kamu tahu nggak kenapa pramugari harus menjaga berat badannya?” tanyanya dengan tone yang sangat keibuan. Style Lea yang paling aku sukai.

Aku terdiam.

“Bukan karena biar enak dipandang, tapi biar enak jalan di kursi penumpang. Bayangin deh kalau pramugari ukurannya jumbo, kan susah lari – lari di antara kursi penumpang yang sempit,” jelasnya sambil memotong desert lalu menyuapkan padaku.

Aku berdiam dan membuang pandanganku keluar jendela. Langit mendung.

14.00 p.m

Langit mulai hujan sewaktu kami sampai di Halte Busway terakhir. Tepat sepuluh hari yang lalu ketika Lea memaksa pergi ke Kota Tua dan makan siang di Kafe Batavia menggunakan transportasi umum. Katanya, “aku kangen naik busway”. Aku iyakan saja, aku juga tidak ada banyak acara weekend itu.

“Kamu disini aja, aku ambil mobil ya,” kataku pada Lea yang hari ini tampil casual dengan celana jeans dan kaos oblong. Rambutnya yang dicat pirang bergerak ditiup angin.

“Nggak usah, kita beli payung aja,” sarannya padaku sambil melirik ke arah jam 11 dimana ada penjual dengan bertumpuk – tumpuk aneka warna payung. Aku pun mengiyakan dan dia berjalan keluar terlebih dahulu.

Lea suka warna merah. Maka aku putuskan membeli payung merah maroon dengan aksen sederhana di pinggirnya.

“Yuk kita pulang,” ajakku padanya.
“Okey,” sambutnya. Namun, dia justru mengambil payung dari tangan seorang gadis di hadapan kami. Ojek payung.
“Hey, lalu payung ini?” tanyaku tidak mengerti.

“Buat oleh – oleh. Bisa dipakai turun dari pesawat kalau hujan.” Dia menarik tangannku untuk bergabung dalam payung lusuh yang sudah ia genggam tadi. Si Gadis ojek payung di hadapanku tersenyum sumringah.
Kami berjalan keluar menerobos hujan.

Hujan semakin deras waktu langkah kami mendekati mobil. Kilat menyambar beberapa kali. Aku selalu was – was dengan cuaca.

“Lea, kamu ambil cuti aja kita liburan ke Australi,” ajakku padanya setelah dia memberikan uang dan sebuah roti yang tadi ia beli pada gadis ojek payung.

“Nggak bisa Za, aku harus flight natal besok ke Singapura. Maaf ya,” tolaknya halus.

Aku terdiam. Awan berganti abu – abu sewaktu kami sampai di rumahnya.

16.00 p.m

Di luar angin masih bergerak tidak biasa. Cenderung sembarangan tanpa ritme yang pas. Atau, mungkin itu ritme angin di bulan seperti sekarang. Aku masih terdiam di depan televisi. Handphone-ku entah sudah berdering berapa kali. Perasaanku entah apa rasanya. Ini sudah hari kelima pencarian pesawat yang tidak kunjung membuahkan hasil.

“Saudara, Basarnas hari ini berhasil menemukan puing pertama pesawat XY0011 dan sebuah koper yang di duga milik pramugari pesawat tersebut.” Suara anchor tersebut mengejutkanku sekaligus membuat kelu.

Lea Zaila. Begitu kata yang tertangkap oleh kamera dan ketika di buka ada sebuah payung warna maroon yang Nampak terkoyak karena terendam air.

Aku tertegun. Dunia seperti berhenti.

10.00 p.m

“Rasanya aku nggak percaya Re kalau bakal kayak gini,” pungkasnya setelah bercerita tentang hari – hari terakhirnya bersama Lea.

“Sabar ya Za, aku turut berduka cita,” ujarku kemudian. Aku duduk bersisihan dengannya. Sejak kejadian itu aku khawatir dengan keadaanya. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Bukankah selama ini aku sudah mempersilahkannya untuk mencintai cintanya dan mengabaikan cintaku sendiri. Dan, aku tahu Abza bahagia dengan Lea. Itu lebih dari cukup untukku.

05.00 a.m

Pagi harinya, aku sudah ada di rumah gaya mediterani yang kini dipenuhi oleh mawar merah. Semua orang termasuk aku awalnya akan bingung mengapa melihat rumah duka yang tidak biasa. Aku dan Abza duduk di kursi paling belakang.

“Za, kamu yang bikin ini semua?” tanyaku padanya dengan tatapan selidik saat pertama kali menjumpainya terduduk sendirian di pojok.

“Lea suka mawar merah.” jawabnya dengan tatapan kosong.

Aku tertegun. Cinta yang selalu pertanyakan itu terlihat jelas di hadapanku.

“Za, kamu tahu nggak soal ini?” tanyaku padanya sambil memperlihatkan sebuah foto di instagram.

‘I Love you from 3800 Feet’ caption foto tersebut. Posting foto itu tertanggal tepat sehari sebelum kejadian. Abza tercenung lama mengambil handphone dari genggamanku. Dia memang tidak memiliki akun instagram. Katanya, “buat apa sih kebanyakan medsos?”

Air mata yang sejak kapan entah dia tahan akhirya tumpah. Pertahananya roboh sebagai seorang laki – laki.

Aku tertegun. Mungkin kali ini Abza mengutuki sikap cuek yang selalu ia junjung tinggi.

“Za, sabar ya. Dia sudah kembali ke pemiliknya za, Lea sudah kembali ke Tuhan.” Seorang perempuan paruh baya memeluknya.

‘Meskipun kamu memiliki cintanya, meskipun kamu tidak memiliki cintanya. Tanpa harus ada yang memutuskan bersama selamanya atau tidak, tidak pernah ada yang benar – benar memiliki jiwa seseorang.’

Tulisku dalam tumblr pribadiku.

Suara sirine ambulans dengan asas doplernya memekakan telingaku. Sebuah peti terhantar di hadapan kami.

#RabuMenulis

Jakarta, 150121
10.09 P.M

Inspirasi : waktu naik busway, ojek payung dan banyak cerita tentang Air Asia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *