Serupa gula-gula yang dijajakan tukang asongan di Malioboro begitulah kisah-kisah cinta tersaji dalam bentuk-bentukannya.
Disana ada sepasang kekasih yang baru saja saling menyatakan cinta. Ikrar sederhana tentang cinta, siapa mencintai dan dicintai siapa berbalas dan membagi. Bola mata mereka menyiratkan cahaya yang hanya dinyalakan oleh pemilik cinta. Aih…. lihatlah jarak yang jauh pun rela mereka tempuh demi menemui cintanya.
Kemudian ada yang meretas rindu tak berkesudahan karena jarak dan janji yang memisahkan. Beruntungnya mereka hidup dimana setiap kata hanya membutuhkan bantuan gelombang dan frekuensi yang tersistem demi menyatakan setiap rindu, sendu sedan. Pipi-pipi yang merona dibelakang telepon genggam abad sekarang.
Tapi, ada pula ada cinta yang ragu-ragu dan malu-malu. Cinta yang dibungkus dalam harapan-harapan tentang masa depan. Ada dia yang begitu ragu akankah ia benar menunggu seseorang yang bisa berubah sewaktu-waktu. Ada degup tentang ragu namun tetap saja dengan harapan untuk bersatu. Ada kecemasan di wajahnya yang selalu ia singkirkan dengan dingin seperti tak peduli. Menurutnya kadang berpura-pura lebih menyelamatkan dia dari bongkahan rasa dalam dirinya.
Lucu. Kisah para pecinta yang jatuh. Entahlah kuharap mereka bisa bangkit jika sesuatu terjadi dengan mereka.
Aku membeli satu gula-gula dari seorang asongan yang menghampiriku dengan senyuman-tentu bukan senyumnya orang jatuh cinta. Gula-gula ditanganku pastilah bukan cinta, karena katanya cinta itu anugerah-jika ia diwaktu dan saat yang tepat.
Mereka yang sendiri pun memiliki cinta. Tidak ada aturan yang memberatkan seorang lajang tidak boleh hidup di muka bumi ini bukan?
Lalu, apa kabar kau cinta?
Kau tidak benar-benar mengerti aku, bila kau belum pernah membenciku–lalu tetap mencintaiku lagi setelahnya. – @falafu
gambar dipinjam dari sini