Hujan Pertama January, -38 Celcius

Di meja itu ada dua orang duduk dengan jarak, seakan memberi spasi. Mungkin juga spasi pada hati masing – masing, juga spasi pada kenyataan, fantasi dan angan – angan. Satu diantaranya nampak salah memesan minuman dicuaca yang tiba – tiba hujan seperti sekarang coklat tiramisu dingin bukan pilihan yang tepat. Lima menit janggal tanpa perkataan, padahal sebelumnya semua masih renyah dan manis seperti churros Spanish yang tinggal menyisakan remah diatas piring saji.

“Aku tidak akan menikah sebelum lulus doktor,” kata laki – laki itu tegas.

“Aku tidak pernah meminta kamu menikahiku,” sela wanita di hadapannya yang enggan menyentuh lagi gelas dihadapannya. Ada jeda tiga menit sampai akhirnya wanita itu tersenyum. Senyum ketidakpahaman dan penuh pertanyaan.

“Kamu adalah perempuan Jawa yang tidak mungkin menikah dalam usia tidak muda, sedangkah aku adalah pria yang harus menyelesaikan sumpahnya,” jelas laki – laki itu lagi seperti membela diri.

“Ya, itulah kamu,” ujar gadis berambut panjang bermata coklat itu dengan tawa kali ini.

“Do I really look like a guy with a plan? You know what I am? I’m a dog chasing cars. wouldn’t know what to do with one if I caught it. You know, I just… do things,” laki – laki itu tertawa seperti mencoba membuat gadis itu lebih memahami.

 Hujan masih deras mengurung mereka berdua di tempat itu, sampai hasil kondensasi terakhir jatuh mereka akhirnya berpisah tanpa kata – kata.

                Guguran daun maple yang memerah berserakan memenuhi permukaan jalan seawall di Vancouver pusat kota wilayah barat Kanada. Seperti karpet emas yang sengaja digelar alam begitu indah. Seawall Vancouver -dinding batu yang dibangun ditepian laut untuk mencegah erosi nampak pucat dihawa dingin seperti sekarang. Jalan sepanjang 22 kilometer itu masih sepi ketika seorang gadis duduk di bangku di bawah salah satu pohon Maple yang memerah. Ia mendekap erat mantel tebal yang melilit tubuhnya, suhu yang tak wajar baginya yang selama ini hidup di wilayah tropis. Bola mata coklatnya sibuk memperhatikan lalu lalang sea plane yang terbang landas di laut Vancouver sesuka hati.

“Lima tahun tidak bertemu ternyata kamu belajar menunggu,” ujar seseorang membuat gadis itu menoleh seketika.

“I don’t generally make a habit of waiting,” ujar gadis itu, ada jeda 59 detik sampai akhirnya gadis itu berbicara. Ada jarak yang terjadi, ada jeda ketika akhirnya gadis itu berdiri memeluk laki – laki dihadapannya.

Satu dua maple jatuh berguguran dan angin dingin menyelusup memainkan syal warna navy yang membuat tengkuknya terlindung dari dingin Vancouver. Kini mereka berdua duduk bersisihan di salah satu bangku seawall menghadap ke laut Vancouver yang hangat di suhu 5o C.

“Bagaimana bisa kamu berpindah dari Indonesia ke Eropa kemudian ke Amerika begitu saja padahal cuaca begini buruk,” tanya si Gadis sembari menoleh ke arah laki – laki di sebelahnya. Ia mencoba meneliti inchi dari wajah laki – laki yang lima tahun lalu terakhir ia temui. Tidak ada yang berubah, hanya – mungkin kacamatanya yang semakin tebal.

Laki – laki itu hanya diam dan memperhatikan gadis di sebelahnya.

“Bagaimana tugas kantormu bisa jauh sekali sampai Kanada?” si Laki – laki bukannya menimpali perkataan gadis di sampingnya tapi justru membuat topik baru seperti tidak percaya bahwa mereka bertemu di benua yang berbeda dari lima tahun yang lalu.

“Masih butuh jawaban?” tanya gadis itu berbalik dan kali ini keduanya saling bertemu pandang. Ada rasa rindu yang barangkali membuncah, ada rasa lega yang mungkin muncul.  Technology memang ada untuk mengikis jarak, namun waktu dan kesibukan adalah perangkap lain dari sebatas bertatap dalam maya. Terlebih jika tidak pernah ada kata yang mengikat rasa dan tidak ada janji yang terijab.

“Bagaimana kabar gadis asia mu itu? Nampaknya ia sesuai dengan kriteriamu, lucu, mungil, berambut panjang, dan berponi seperti gadis – gadis dalam drama korea itu,” ucap gadis itu kemudian, kali ini tangannya sibuk mempermainkan daun maple yang terjatuh.

“Baik, sangat baik,” jawab laki – laki itu menatap ke arah laut lepas. Pertanyaan itu sangat mungkin ketika technologi semakin nyata siapapun akan mudah mengetahui tanpa bertanya.

“Bahkan dia sangat geek, seorang pecinta matematika, menyukai rumus dan angka, pasti itu yang membuatmu menyukainya,” tambah gadis itu lagi.

Don’t be jealous, why so serious?” laki – laki itu terbahak, bahakan yang gadis itu selalu ingat. Tertawa terbahak yang meremehkan.

“Aku tidak cemburu,” kata gadis itu mengelak.

Angin dingin berhembus menerbangkan maple yang berserakan kemudian mengubah letak mereka serampangan, tak tertata namun tetap indah keemasan. Ketika laki – laki itu merengkuh pelan bahu gadis disebelahnya. Hangat.

“Jatuh cintalah dengan caranya berpikir, karena disanalah kamu akan tinggal,” ujar gadis itu sembari memejamkan mata walaupun sesaat.

“Seperti itukah cara kamu jatuh cinta?” tanya laki laki itu menengok ke arah sebelahnya.

Gadis itu bergidik diam.

“Pantas saja kamu jatuh cinta kepadaku,” ucap laki – laki itu pongah.

“Tak usah besar kepala,” protes gadis itu kemudian. Laki – laki itu tersenyum menggodanya.

“Katanya kau datang membawa hadiah,” tagih gadis itu.

“Kamu bilang kamu mau membawa kabar,” balas Sang Laki – laki.

“Kamu tetap menyebalkan,” dengus Sang gadis.

Pejalan kaki dan inline skate mulai ramai disekitar Coal Harbour ketika sebuah disertasi setebal 10cm itu ada dihadapan gadis bermata coklat yang sedang terperangah.

“Kamu sudah lulus?” tanyanya takjub.

“Ya, tepat seminggu yang lalu,” ujar laki – laki mantap penuh dengan senyum kemenangan.

“Kenapa tidak memberi tahu?” protes gadis itu.

“Aku berhasil membuat metode baru yang lebih baik daripada metode yang sudah ada sebelumnya,” lanjut laki – laki itu.

“Hmmmm,” sang Gadis memandang kitab tebal bertuliskan nama laki – laki disebelahnya.

“Lalu kamu membawa kabar apa?” tanya si Laki – laki.

Tangan berlapis sarung tangan warna peach itu merogoh saku mantelnya. Ada ragu yang menghinggapi, namun kemudian ia tersenyum.

“Datanglah,” gadis itu menyerahkan sebuah undangan berwarna perak bertuliskan namanya dengan seorang nama asing bagi si Laki – laki.

“Di kala hujan pertama di bulan Januari,” tambah gadis itu dengan senyuman. Angin berhembus lebih kencang, daun – daun maple berterbangan dan ombak kecil beriak – riak di seawall Vancouver awan bergerak lebih cepat.

                Flat disekitar Institut Teknologi Massachusetts (Massachusetts Institute of Technology) MIT kota Cambridge nampak sepi. Sungai Charles distrik Back Boston pun tak mengalir seperti biasanya karena membeku.  Fenomena cuaca ‘Polar Vortex telah  membekukan kota hingga berlapis – lapis baju dan mantel harus dikenakan oleh laki – laki yang kini tengah  mengamati sebuah kartu undangan  yang berjejal disela halaman disertasi doktornya.

“Jika -38oC tidak mendahului kota ini, pasti aku ada disana,” gumam laki – laki itu.

You know what I’ve noticed? Nobody panics when things go according to plan,” lajutnya. Di luar badai salju tengah menghantam tembok – tembok dan batu bata.

 

Remember the first day, the first day we kissed?
Remember the first day we had an argument?
We apologized, and then we compromised
And we haven’t argued since.
Remember the first day we stopped playing games?
Remember the first day you fell in love with me?
It felt so good to say those words – Brown Eyes

 

Jakarta, 140108

10.37 PM

Arfika

Inspired by Kompas Minggu 5 January 2014

Kolom Perjalanan “Musim Gugur di ‘Seawall’ Vancouver”

When i fall fallen 

 

Baca juga :

Terima Kasih Tak jadi Kasih 

 

4 thoughts on “Hujan Pertama January, -38 Celcius

  1. Technology memang ada untuk mengikis jarak, namun waktu dan kesibukan adalah perangkap lain dari sebatas bertatap dalam maya. Terlebih jika tidak pernah ada kata yang mengikat rasa dan tidak ada janji yang terijab.

    kisah2 seperti di atas, paling pas kalau endingnya begini. 🙂
    karena cinta, seringkali adalah tentang tanggung jawab dan keberanian. :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *