Kapan Nikah?

“Jadi masih jomblo aja?” tanya Bonbon dengan muka penuh selidik.

Aku mengangguk yakin menatapnya.

“Pasti sudah ada gebetan….” sanggah Ema yang sedang memangku bayi kecilnya. Hari ini kami berkumpul di rumahnya sekaligus menjenguk dia yang baru saja melahirkan.

Aku terdiam kemudian menggulirkan tanganku untuk menjelajahi dunia maya. Jariku berhenti pada sebuah post milik sahabatku. Ada sebuah cerita yang dia buat secara bersambung yang aku ikuti juga selama ini. Namanya Aisya, menurutku hidupnya sempurna suaminya baik, finansial oke, anak-anaknya pintar dan lucu. Tidak ada yang salah dari kehidupan Aisya walaupun aku tahu satu hal dia merasa kehilangan dirinya sendiri. Memiliki tiga orang anak tanpa pembantu adalah sebuah prestasi luar biasa menurutku. Bukan mereka tidak mampu untuk meng-hire pembantu tapi memang Aisya sosok idealis yang tidak ingin rumahnya dicampuri orang lain. Dari beberapa ceritanya aku menangkap dia kehilangan mimpinya untuk terus menjadi penulis dan itu membuatnya sangat frustasi. Aku merasa dia mempertanyakan dirinya sendiri karena akhirnya tidak lagi berkarya. Mungkin itulah manusia, aku sering merasa tanpa dia mencapai itu pun hidupnya sudah lebih dari cukup. Bukankah kamu sudah berani menyerahkan hidupmu pada seorang laki-laki bernama suamimu? Dan kamu sendiri yang memimpikan nikah muda. Bahkan ku dengar beberapa orang memuji hidupmu seperti dalam dongeng. Tapi, lagi dan lagi itulah tabiat manusia bukan? – selalu merasa kurang.

“Emang nggak ditanyain sama saudara?” tanya Bonbon lagi.

“Ya ditanyain pasti. Tapi, aneh aja. Yang nanyain adalah orang yang anaknya cerai, yang nanya lainnya lagi pas sekarang udah tua malah pengen pisah dari suaminya karena nggak mau ngurusin. Atau, ketemu sama orang yang diselingkuhi. Aneh kan?” jawabku apa adanya.

Rara disisi tempat duduk lain tersenyum tipis mendengar jawabanku. Mungkin dia teringat mantan pacarnya yang kini menjadi suami orang yang telah mengkhianatinya.

“Menurutku yang berhak tanya kayak gitu adalah mereka yang bahagia dengan pernikahannya,” sanggahku kemudian.

“Kamu masih ragu buat nikah?” lanjut Bonbon menatapku dalam.

“Nggak si kalau sekarang, kalau dulu iya…” jawabku terus terang. Aku sendiri tidak tahu dengan pernikahan Bonbon tapi menurutku dia cukup bahagia dengan pernikahannya. Walaupun beberapa hal memang tidak sesuai dengan ekspektasinya tapi kurasa dia cukup baik dalam beradaptasi.

Bonbon menghela nafas seperti memaklumi.

“Sekarang aku seperti sudah menemukan tujuan hidupku, menemukan diriku, dan merasa cukup dengan diriku. Menurutku salah jika seseorang menikah untuk melengkapi hidup, menikah adalah bagian tersendiri dari kehidupan. Menurutku menikah itu ketika sudah merasa lengkap, cukup. Ketika seseorang sudah selesai menjawab banyak pertanyaan tentang hidup mereka,” ulasku panjang lebar.

“Gak semua orang mempertanyakan sesuatu dalam hidup, banyak yang hanya menjalani, mereka hanya mengikuti setiap hal yang datang dalam hidup mereka,” ujar Bonbon.

“Yeah… aku kagum pada perempuan yang begitu yakin untuk menyerahkan hidupnya sejak sangat muda pada suaminya. Pikir deh dia baru lulus kuliah, atau masih lulus SMA, SMP dan kemudian dia menikah belum tahu apapun tentang dunia. Mereka masuk begitu saja dalam belantara kehidupan tanpa senjata,” aku berkata sembari membayangkan.

“Nggak semengerikan yang kamu pikirkan, semua ketakutan hanya dalam pikiranmu saja,” Ema menepuk bahuku pelan.

Aku terdiam tidak dapat berkata-kata pasalnya memang mereka yang sudah menjalani realitas pernikahan.

“Mantan kamu aja udah punya anak sekarang,” kata Bonbon dengan santai tapi menekankan pada beberapa kata penting.

“Hah? Iyakah? Aku kira dia akan menunda,” sahutku asal.

Bonbon tertawa satir, “Menunda pernikahan sama seperti melemparkan boomerang yang akan kembali ke diri sendiri. Apalagi dengan background keluarganya seperti itu, kamu bisa-bisanya berpikir mereka akan menunda,” kata Bonbon lagi.

Aku terkekeh. Sejujurnya sejak empat tahun lalu dia memilih istrinya sekarang, aku tidak lagi tahu apa-apa tentang laki-laki itu. Kabar dia menikah tahun lalu cukup membuatku yang awalnya sudah melupakan menjadi ingat kembali
terlebih dia dipindahkan ke daerah yang cukup jauh dari kotaku sekarang.

“So, kapan siap nikah? Nggak capek apa ditanyain terus?”

Aku mengangkat kedua bahuku.

– Edisi lebaran –

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *