Lapangan hijau itu sangat luas, sungguh. Tak bisa diukur pasti berapakah lebar dan panjangnya, berhektar – hektar barangkali. Ditumbuhi oleh berbagai macam rumput, ada yang sintetis maupun yang alami. Ada yang dipangkas rapi, adapula yang meninggi. Semua tergantung pada pemilik barisan di setiap petaknya. Dipinggir – pinggirnya ada tempat duduk dari kayu yang dibuat bertingkat – tigkat. Disitulah mereka berkenalan, pertama kali berjumpa, bercakap – cakap.
“Kenapa menepi?” tanya laki – laki itu. Ditangannya sibuk mencocokan lego dan memutar – mutarnya sesekali. Berserakan lainnya ialah kertas, pensil dan sebuah kubus dengan pola –pola tak terstruktur.
Gadis itu mendongak ke arah suara, tepat di sebelahnya. “Kau berbicara denganku?” tanyanya ragu sembari menoleh ke arah belakang dan sampingnya barangkali ada orang lain.
Laki – laki itu mengangguk. “Ya, kamu. Bahkan pesta belum dimulai, kenapa kamu tiba – tiba menepi?”
“Panas, sesak, dan berirama.” Jawab gadis itu polos sembari menenggak sebotol air putih.
“Lalu? Bukankah itu memang aturan mainnya? Harusnya kamu menikmati, esok lusa barisan itu akan terbang ke bulan. Tidakkah kamu tertarik untuk ikut? Namamu akan dicetak besar – besar di media kota.” Sahut laki – laki itu kini masih sibuk dengan permainan di tangannya.
“Ya. Tapi, setelah aku pikir aku tidak membutuhkan semua itu. Aku tidak merasa tenang diantara barisan itu, aku justru takut tak menikmati gerakanku sendiri,” jawab gadis itu sembari tersenyum. Senyum yang aneh.
“Tinggal bergerak, ikuti komando. Dan kau bisa berirama seperti mereka,” sahut laki – laki itu sambil menunjuk ke arah salah satu barisan yang kini sedang dikomando untuk hormat.
Gadis itu menggeleng. “Ah, tidak. Aku rasa tidak seperti itu seharusnya. Aku sedang bertanya kenapa mesti bergerak bersama mereka.”
“Lalu kau? Kenapa kau justru disini?” tanya gadis itu kemudian dengan tatapan selidik.
“Aku? Aku tidak pernah ikut dalam barisan. Ah, aku rasa barisanku terpencar seperti lego – lego ini.” Jawabnya sembari memperlihatkan permainan di tangannya.
Gadis itu mendongak mencoba mengamati laki – laki itu. “Oh ya? Bagaimana bisa kau tidak tertarik? Seperti yang kau bilang, namamu bisa dicetak besar – besar, diwawancara sana dan sini, mungkin dikejar – kejar oleh perempuan manapun.”
“Sederhana. Justru karena aku tidak ingin mendengarkan mereka.” Jawab laki – laki itu pendek.
Gadis itu tertawa kemudian, cenderung terbahak. “Ah, come on! Jelas bukan itu aturan mainnya.”
Laki – laki itu menjawab sambil terus mengamati lego dihadapannya. “Lantas? Hey, tak masalah kalau kita membuat aturan sendiri. Aku punya dunia sendiri yang tak perlu mereka ketahui pun hidupku baik – baik saja.”
Gadis itu mengerjap dan menarik ujung bibirnya. “Namaku Kemi.” Gadis itu mengulurkan tangan.
“Dande.” Jawab laki – laki di hadapannya.