KEMBALI

Pagi memberikan sentuhan lebih dingin bulan ini. Kemarau datang meranggasi pohon jati, memberi warna pada bunga flamboyant. Semburat orangenya menyala – nyala serasi. Burung pelatuk mematuk pelan di pohon – pohon yang mulai meninggi, satu dua burung pipit turun mengambil jerami. Aku pulang.

Kebisingan kota kadang membuat carut marut tanpa koreksi, terlalu banyak suara disana. Hingga kadang memekakan telinga dan tidak mempu mendengar mana suara yang benar dan mana yang salah.

Inilah yang selalu aku nanti, kembali menyatu pada keheningan dan menasbihkan kesunyian. Sembari meresapi yang telah terjadi, berkontemplasi, seperti detoksifikasi pada berbagai sisi. Membuang jelaga hati. Kembali.

Kembali kesini sama arti dengan meletupkan memori. Seperti sepiring makanan siap saji – kilat, dengan berbagai potongan gambar lengkap beserta percakapannya. Tapi mungkin semua itu sudah tidak memiliki arti. Kesibukan dan kontaminasi informasi mengikis satu persatu detail dari cerita lalu. Itu lebih baik.

Namun, sejauh kemanapun pergi akhirnya akan kembali lagi mematut pada jendela – jendela di ruang – ruang itu lagi. Tehnologi memang seakan menstimuli peradaban untuk terus berbicara dan hilang. Saling berbicara sendiri dalam beberapa karakter mencoba memberikan tanda kehidupan, aku masih ada. Pagi ini ruang itu kembali bergerak.

Bening Morevia

Ngapain kamu pulang?

Kini jendela sosial media-nya pasti tengah berkedip – kedip. Aku menghela nafas pelan. Untuk apa dia pulang? Bukannya dia sudah bahagia disana. Untuk apa dia kembali ke tempat yang sunyi ini? otakku berkedut – kedut ingin bertanya padanya.

Zai Adnan

Kangen mama, kangen rumah.

Begitu ketiknya kemudian. Aku menghela nafas lagi. Alasan yang logis memang, mamanya ada di sini, rumahnya pun disini. Tapi, rumahnya sepi tiada penghuni.  Mamanya telah meninggal empat tahun yang lalu. Sangat berbekas di kepala, empat tahun lalu di hari itu. Melihat sosok yang berusaha tegar.

Sejak itu aku paham, benarlah jantung rumah adalah Ibu, saat ibu tidak ada maka hampalah rumah tak tahu tempat berpulang. Ayahnya terlalu sibuk untuk tinggal di kota ini. Akhirnya, rumah itu akan kosong untuk jangka lama. Sampai hari ini dia secepatnya akan pulang (lagi).

Me    : Aku di depan rumah. Kamu dimana?

Pesan singkatku segera melesat hingga akhirnya sampai di handphonenya. Menunggu beberapa saat sampai dia membalasnya.

Zai    : Mana? Gak ada orang. Baru bangun.

Aku pun membalas

Me    : Aku di depan rumah, di pojokan. Buka pintu sekarang.

Beberapa menit kemudian baru dia membalas.

Zai    : Dasar gak jelas. Ngapain bawa kaya gitu?

Aku tertawa. Aku memang tidak ada di depan rumahnya, saat ini yang ada di depan rumahnya adalah rantang berisi makanan. Beberapa menit yang lalu aku menaruhnya, masih enggan untuk bertemu dengannya. Aku tahu dia pasti belum menyiapkan makanan untuk berbuka. Disini dia tidak bisa bergerak banyak, tidak ada kendaraan.

Me    : Selamat makan 😀

Zai    : Hmm

Laki – laki itu manusia dari masa lalu. Manusia yang sampai sekarang berstatus sebagai sahabat. Tidak lebih dan juga tidak kurang. Mungkin dulu ia pernah mencoba menyelipkan kata. Tapi, melanjutkan kata itu yang tidak pernah bisa aku lakukan, entah mengapa. Padahal aku selalu mencoba memprioritaskan dia, semua orang berkata seharusnya aku menerima kata itu. Tapi, keraguan tetaplah keraguan.

Me    : Rantangnya aku ambil habis tarawih.Gak usah dicuci.

Zai    : Dah terlanjur. Jam berapa? Aku mandi dulu.

“Kapan ke Mama?” tanyaku mengemasi rantang di meja dapurnya.

“Besok nunggu Ayah sama Kakak. Bawa apa ya? Masak cuma bawa doa?” tanyanya dari arah belakangku.

“Hmm… bawa bunga,” ujarku kemudian. Aku menghela nafas lega. Syukurlah kalau keluarganya akan datang setidaknya dia tidak akan sendiri. Aku tidak pernah tega melihatnya sendiri di rumah ini, tanpa akses kemanapun. Seperti orang terisolasi.

Kami berbincang sekedarnya. Melepas kangen? Entahlah, aku sendiri tidak tahu apakah aku merindukannya atau tidak. Bagi orang – orang yang mengenal kami mungkin aneh, hubungan seperti ini yang berjalan lebih dari tiga tahun lamanya. Bagaimana rasa? Tak tahu, yang jelas aku memang peduli padanya. Dia orang yang enak di ajak berbicara. Padanya aku tak usah berpura – pura, tak perlu menampilkan yang baik – baik saja.

Dulu memang dia membuatku special, tapi berjalannya waktu membuat semua biasa saja. Terlalu lama dia menungguku, terlalu lama untuknya menafsir bagaimana rasaku. Setiap dia bertanya aku tak bisa menjawab. Lalu dia berpikir bahwa aku masih mencintai yang dulu. Padahal itu bukan jawaban yang tepat menurutku.

Mungkin satu jawabnya, aku tidak mau kehilangan dia. Bukankah seperti yang sudah sudah semua akan jadi janggal dan aneh setelah pernah ada kata berpacaran dan kemudian putus? Aku tak ingin itu terjadi. Biarkan semua ini berjalan seperti ini.

Tiba – tiba handphonenya bordering…..

“Hallo, eh bentar ya. Lagi ada temen…” ia menutup handphonenya.

Aku menghela nafas. Itu pasti dari gadis yang beberapa waktu lalu ia ceritakan padaku. Sakit? Aku tidak tahu. Bukankah bukan hakku untuk sakit? kami tidak memiliki hubungan apa – apa.

Dia sering bercerita soal gadis – gadis yang dekat dengannya. Sebenarnya mungkin itulah alasan lainnya. Aku sepenuhnya tidak paham bagaimana laki – laki di depanku saat ini. Terlalu banyak wanita yang berhubungan dengannya. Aku takkan tahan bila menjadi pacarnya, aku juga tak yakin apakah aku satu satunya gadis yang dekat dengannya-kalau aku menjadi pacarnya. Maka dari itu aku memilih seperti ini. Biarlah Tuhan yang memberiku muara, dia atau orang lain pada tepat waktunya nanti.

Zai    : Makasih buat semuanya 😀

Pesan itu masuk bertepatan aku masuk ke rumah. Aku tersenyum.

Rumah, 1 Agustus 2012 – 10.35

Belajar untuk bisa memahami, bukan menebak – nebak. 

5 thoughts on “KEMBALI

  1. Sekali lagi kukeluarkan lagi ‘jurus andalan’ku. Gadis itu –Minji- mungkin terlalu banyak bergaul dengan temannya, Heerin, dia jadi ikut-ikutan gila seperti itu. Aku tahu, aku memang selalu kasar dengannya. Entahlah. Aku masih menyukainya, sangat. Tapi aku tak bisa mengatakannya. Karena selalu saja ada pria bernama –Kwon Jiyong- yang selalu nempel dimana Minji berada.

  2. ini paling aku suka d^-^b
    ga tau kenapa……..

    setelah sebagian besar aku baca yg kategori story. tema besar nya cinta ya? hehehe..
    sering bingung sama kata ganti orang nya karena kaya nya ka fika lebih suka pakai kata ganti aku,kamu,dia. lama-lama baca terbiasa sama gaya penulisannya. Jauh lebih bagus dari cerita-cerita yang coba aku buat.
    terus menulis 🙂

    1. Thanks 🙂 kamu baca semua ya. hahahha.
      Iyaa, cinta aku suka nulis cerpen cinta hahhaha. biar aku jatuh cinta.
      ‘kata ganti’ ya 🙂 malah aku jadi penasaran sama cara nulisku *langsung baca tulisan sendiri*
      thanks yaaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *