Kenangan, Tak Datang di Pemakaman

Pusara itu dikelilingi pagar hitam berbahan baju, udara menjadi medium perambatan suara sesenggukan diantara sekaan air mata. Perlahan dengan gerakan tidak beraturan serpihan kelopak mawar dan melati yang bertaburan sebagai pewarna yang tersisa untuk duka. Ada buliran air mata yang diseka dengan perca berbentuk segiempat kadang berenda kadang juga hanya dijahit ditepinya. Begitu bukan upacara bernama pemakaman?

Pusara ini sudah dipersiapkan. Dia yang meninggal sudah menyiapkannya jauh – jauh sebelumnya. Seyakin dia memang pernah hidup seyakin itu pula pada akhirnya dia bisa mati. Aku tak yakin dia berduka oleh kematiannya, aku justru ragu sebenarnya dia memang memilih kematian dibandingkan meneruskan segalanya. Tapi, mungkin beginilah yang bisa dipilih sebagai cerita.

Dia baru menyadari sakitnya setahun yang lalu. Dia bahkan cenderung bahagia pada awalnya, dia tidak menyadari bahwa itu adalah penyakit yang berbahaya. Diagnosa awalnya bahkan ia akan berumur panjang dan mengulum suka cita. Setiap kawan sejawat serta sahabat seperti menasehati untuk berobat tapi dia terus menyangkal. Baru akhirnya di penghujung tahun dia sadar sakitnya parah dan pernah memutuskan untuk mengakhiri begitu saja. Namun, begitulah penyakit itu memang membingungkan kadang dia juga bisa menjadi alasan terus bertahan.

Selanjutnya seperti yang kamu bisa tahu bahwa suratan lebih kuat dari sekedar alasan penyakitan. Seperti dunia kosmik yang berkonspirasi pelan – pelan, dia kehilangan nyawa dan masuk kritis. Tidak ada dokter yang datang, tiada pula yang menjenguk. Dia hanya berpergian kemudian menertawakan penyakitnya sambil bercerita. Hingga ditengah purnama malaikat mengendap – endap, ketika dia membuka pintu seketika ia memutuskan menyerah saja. “Mungkin Sang Maha Pencipta takut aku overdosis dan overdosa,” begitu katanya sebelum akhirnya jasadnya terjaring matahari.

Di hari pemakaman banyak yang datang dan berdoa di depan pusara. Dia kini dalam kepastian menisbihkan pada sepi, kembali menjadi bagian tanah yang tidak takut pada tingginya langit. Rohnya mengudara dengan tawa menyimpulkan sejuta makna. Dia tidak takut pada sendiri, dia tidak lagi memaksa untuk bahagia.

Namun, ketika aku mengedarkan pandang aku tertegun. “Mengapa kamu tidak datang?” aku terus bertanya diantara rapalan doa. “Jangan – jangan kalian bertengkar sebelum dia tiada?”, tanyaku menduga – duga. “Ah mengapa pula kalian tidak berdamai saja,” gerutuku kemudian. “Bukankah kalian sering bergenggaman dan meneguk secangkir kopi bersama? Semestinya kamu datang walau sebentar saja”.

Kini orang – orang memandang pusara seperti berpamitan padamu. Ada beberapa yang sudah berlari tak tahan dengan aroma bunga dan kematian. Ada helaan nafas yang sayup terdengar seperti ucapan, “akhirnya kamu bahagia, bukan berpura – pura bahagia”. Aku terdiam lama, sebagai yang paling dekatmu aku merasakan hilangmu. Sebagai yang paling mengerti sakitmu aku masih termangu antara bahagia atau satu – satunya yang bisa berkata harusnya kamu bertahan lebih lama. Kini aku sematkan setangkai bunga diantara basahnya tanah pusara.

“Kenangan tidak pernah datang ke pamakaman, karena ia duduk di bangku taman dengan bunga – bunga berwarna bersama permen cokelat dan switter hangat,” ujar seseorang sambil menepuk bahuku.

IMG_20140828_214359

Malaikat tidak pernah berhasil membawa kenangan ikut bersamanya.

Semarang, 140828 – 09.48 P.M

Siapa yang tidak datang ke pemakaman?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *