Lampion

“Kalau nggak karena kamu aku nggak kesini kayaknya,” ujar Nona Umbrella memandang panggung di depan mereka berjarak beberapa meter.
Mr. Rain menoleh sesaat mendengar sayup-sayup perkataan Wanita di sebelahnya yang diantara music jazz yang mengalun. “Masak? Bukannya kamu yang merengek pengen kesini karena mau lihat lampion terbang?” dengan nada mengejek.
Nona Umbrella tersenyum smirk, benar memang dia yang ingin melihat lampion walaupun dia tidak terlalu menyukai konser seperti jazz festival ini. Namun, festival jazz ini mempertemukan kesenangan keduanya lampion dan konser jazz.
Mereka saling bernyanyi, tanpa bergandengan atau berpegangan tangan. Ini di muka public, mana mungkin mereka melakukan itu dengan status seorang single dan suami orang? Nona Umbrella sendiri sejak awal memang menjaga batas di antara keduanya. Dan masih berpura-pura bodoh bahwa laki-laki di sebelahnya adalah suami orang.

Setelah konser selesai mereka bersiap menerbangkan lampion. Mr. Rain mengambil salah satu lampion yang ada membawanya kepada Nona Umbrella. Sinar mata Nona Umbrella seketika berbinar tak kala lampion tersebut mulai dinyalakan dan dilepaskan oleh keduanya bersamaan. Seperti lilin-lilin yang terbang lampion begitu indah di kegelapan malam.
Lampion berwarna orange kemerahan mulai berterbangan di atas langit dingin Dieng. Seperti kunang-kunang yang terbang mereka memenuhi langit bergerak perlahan semakin tinggi.
“Mungkin hubungan ini seperti lampion, dinyalakan, diterbangkan penuh kebahagiaan dan esok lusa akan mati seketika jatuh entah dimana,” ujar Nona Umbrella dalam hati sembari memandang laki-laki di sebelahnya yang lebih tinggi beberapa cm.
“Thank you,” ujar Nona Umbrella. Ia masih tidak percaya ada laki-laki itu yang tiba-tiba mengisi kegelapan, kehampaan dalam hatinya.
Mr. Rain mengulas senyum dan memandang balik gadis di sebelahnya, “you are welcome.”

“Makasih juga buat bukunya,” kata Nona Umbrella mengingat buku yang diberikan oleh Mr. Rain saat mereka menikmati indomie rebus berkuah hangat dengan telur setengah matang sore di tengah dinginnya cuaca Dieng.
“Udah dibuka?” tanya Mr. Rain.
Nona Umbrella menggeleng, “diantara buku kemarin yang kamu foto ke aku pasti itu.” Kemarin Mr. Rain pergi ke toko buku dan tiba-tiba mengirimkan foto beberapa buku. Nona Umbrella memberikan komentar ini dan itu perihal buku-buku tersebut. Ini pula yang Nona Umbrella tidak habis pikir kenapa suami orang ini bisa begitu mengerti apa yang menjadi kesukaannya dan mereka begitu cocok ketika membahasnya. Dia sangat menyukai moment untuk saling berbalas komentar tentang sesuatu. Tanpa ada yang menggurui, tanpa ada yang merasa tersakiti bila salah satu diantara mereka berbeda.
“Sok tahu!”

“Btwe aku menemukan sesuatu di kantor akhir-akhir ini,” cerita Nona Umbrella.
“Apa?”
“Ternyata dunia kerja benar-benar tentang satu sama lain tidak saling mengenal dengan mendalam. Ternyata lebih banyak yang hanya mengenal di permukaan. Terus tiba-tiba aku merasa asing dengan banyak orang,” cerita Nona Umbrella.
“Mungkin itu untuk menjaga bounderies mana dunia kerja dan personal.”
Nona Umbrella mengangguk mengerti. Ia sendiri sedang memikirkan banyak hal akhir-akhir ini tentang ini dan itu.

“Kalau Tangled dibikinin festival lampion supaya pulang ke rumah setelah dicuri, kalau aku malah nonton festival dengan mencuri seseorang,” ucapnya lirih dengan nada satir. Perkataan itu terucap begitu saja setelah ia sadar masih berada di sebelah seseorang malam ini.
“Mencuri waktu? Mencuri kesempatan atau mencuri hati?” tanggap Mr. Rain tetap mendengar dan mengerti walaupun ia menanggapi dengan lelucon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *