Membaca ‘RIndu’ – Tere Liye

Judul buku : Rindu
Ii+ 544 hal ; 13,5 x 20,5 cm
Cetakan 1 : Oktober 2014
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Republika

“Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan – pertanyaan. Sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan maka tidak otomatis selalu ada jawabannya. Terkadang, tidak ada jawabannya. Pun penjelasannya.” – Rindu, hlm 222

Awalnya saya mengira ini adalah kisah roman – roman percintaan dari judulnya ‘Rindu’. Tapi, ternyata ‘Rindu’ disini bukan semacam rindu yang melankolis. ‘Rindu’ dalam buku ini adalah kerinduan haqiqi yang dimiliki oleh setiap mahluk kepada Sang Pencipta (setting cerita ini adalah perjalanan Haji tahun 1938 dengan yang masih menggunakan kapal – disini diberi nama Blitar Holland). Makna ‘Rindu’ yang lain ialah kerinduan pada jawaban pada pertanyaan yang mengganjal dalam kehidupan seseorang bahwa bila seseorang mau menyadari hakikatnya ‘hidup semacam dipenuhi pertanyaan acak – yang seringkali jawabannya ditemukan secara tidak terduga’. Demikian pun serangkaian cerita yang ada dalam novel ‘Rindu’ Tere Liye.

Cerita dalam ‘Rindu’ sangat padat dan detail. Biasanya sebuah cerita hanya terdiri dari satu tokoh utama, namun dalam ‘Rindu’ terdapat lima tokoh utama. Yang masing – masing seperti saya katakan memiliki kerinduan akan jawaban dari pertanyaan dalam hidup mereka. Prolog novel ini lumayan panjang, hampir setengahnya. Mungkin bang Tere ingin pembacanya mengenal setiap karakter dengan baik sampai akhirnya mencapai klimaks dari cerita. Karena setiap karakter memiliki kebaikan – kebaikan yang dari detail itu diharapkan bisa membangun empati sehingga nantinya pesannya lebih menyentuh. Menariknya sebenarnya ‘Rindu’ banyak dikemas dalam sudut pandang Anna seorang anak berusia 9 tahun. Mungkin Bang Tere ingin membuat pembacanya menyadari bahwa seringkali kita sudah lupa untuk membingkai hidup dari sudut pandang kanak – kanak yang jujur, polos, apa adanya, dan bahagia – karena sudah mendewasa jadi terlalu serius menghadapi hidup.

Membaca ‘Rindu’ Bang Tere seperti membaca beberapa bukunya sekaligus. Seperti membaca ‘Kisah Sang Penandai’ – dalam penokohan Ambo Uleng. Tentang kisah cinta yang pedih sarat penentangan, perjuangan dalam arti memperbaiki diri. Bahwa, hanya orang yang sabarlah yang mendapatkan hadiah terbaik.

Ada pula ‘Rembulan Tenggelam Di Wajahmu dan Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin’ – dalam cerita Daeng Andipati dan Bonda Upe. Keduanya seperti kebanyakan permasalahan psikologis manusia tentang penerimaan pada masa lalu. Ada benci, ada ketakutan dan belum berdamai dengan masa lalu.

Nasehat terbaik :

Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan – lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” – Rindu, hlm 312.

Selain itu sosok ‘Anna dan Elsa’ putri Daeng Adipati mengingatkan saya pada kepolosoan Amelia dalam novel ‘Amelia’ dan Eliana dalam novel ‘Eliana’ bang Tere. Bagian penting yang saya suka dari tokoh ini adalah metode pendidikan anak – anak. Mengamati secara langsung, berinteraksi dengan alam, memperluas pengetahuan dimana pun berada adalah metode yang seharusnya bisa dilakukan. Semacam tentang pola asuh.

Kemudian tokoh penting lainnya ialah kisah cinta Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet. Kisah cinta yang sederhana, romantis. Bang Tere seperti ingin bercerita bahwa kisah – kisah terbaik bukanlah Cinderella, Snow White, Beauty And The Beast tapi, cerita yang dekat dengan kita, yakni orang – orang tua terdahulu kita. Tidak perlu mewah dan glamor, sungguh justru cinta sejati ada dalam perjalanannya saling menghormati dan menguatkan satu sama lain. Bagian pesan lain dari cerita ini adalah pertentangan bahwa kadang manusia tidak menerima takdir yang terjadi (ini diceritakan saat Mbah Putri meninggal di atas kapal dan Mbah Kakung meruntuki hal itu, padahal cita – cita mereka adalah menghadap Ka’bah berdua). Konflik batin yang seringkali dialami oleh setiap manusia – lupa pada takdir, qada’ dan qadar. Mbah Kakung menanyakan kenapa Mbah Putri tidak meninggal satu atau dua bulan lagi saja?

Penggalan Nasehat :

“Tapi, kembali lagi ke soal takdir tadi, mulailah menerimanya dengan lapang hati. Karena, kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa – basi menyapa pun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi mahluk yang tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya”. – Rindu hlm 471.

Tokoh terakhir ialah sosok ‘Gurutta’ yang menurut saya adalah percampuran dari beberapa buku Bang Tere – mulai dari sosok Ayah Dam dalam ‘Ayahku (bukan) Pembohong’, sosok Sang Penandai dalam ‘Kisah Sang Penandai’. ‘Gurutta’ disini berperan sebagai penjawab, penasehat, perantara untuk memahamkan jawaban dari pertanyaan. Namun, dalam kisah ini kita akan disadarkan bahwa sesempurna sosok bijak sekalipun pasti memiliki pertanyaan dalam hidupnya. Bukankah seringkali seseorang yang pintar, berkuasa, memiliki kedudukan merasa sempurna padahal ada yang dia elakkan. Kemudian seringkali jawabannya tidak datang dari pemikirannya sendiri tapi pemahaman yang saling mengaitkan bisa dari rangkaian peristiwa dan perkataan orang yang bisa jadi bukan apa – apa, bukan siapa – siapa. Karenanya jawabannya bukan lagi soal nasehat lisan dan tulisan, tapi tentang keberanian untuk berbuat.

Bang Tere menyebutkan di belakang covernya dalam penggalan yang kemudian saya tafsirkan penokohnya :
‘Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan (Bonda Upe). Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi (Daeng Andipati). Tentang kehilangan kekasih (Ambo Uleng). Tentang Cinta Sejati (Mbah Kakung Slamet dan Mbak Putri Slamet). Tentang Kemunafikan (isi sendiri :D). Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan’.

Novel bang Tere kali ini lebih lugas dalam memberikan pesan. Kalau biasanya kita harus bergulat dengan kisah panjang, dalam novel ini lebih padat berisi ini Bang Tere menyederhanakan itu semua sekaligus dalam satu buku. Mungkin karena pembaca zaman sekarang yang seringkali sudah lupa pada guru bahasa Indonesianya ‘apa pesan moral dalam bacaan tersebut?’ – sehingga dengan dibuat lebih lugas bahkan langsung ke beberapa point sekaligus.

Dari membaca ‘Rindu’ saya menempatkan ‘Rindu’ nomer dua favorit saya setelah ‘Ayahku (bukan) Pembohong’ untuk karya Tere Liye (menggantikan Bidadari – Bidadari Surga).

Maaf spoilernya kebanyakan. 😛

Rumah, 150414 – 12.07 P.M
Sudahkan bertanya, Sudikah memahami,
Arfika

JADI Rindu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *