Wangi menyan dan dupa bercampur dengan wangi kembang kambodja. Suara kokokan ayam dan gamelan khas Bali mengalun pelan. Lamat – lamat terdengar rapalan khas warga Bali. Mataku yang berat sedikit memincing karena silaunya matahari pagi. Kepalaku pusing.
“Aku ada dimana?” tanyaku dalam hati ketika mendapati diri di dalam sebuah kamar bertembok kayu, bukan kamar hotelku. Seharusnya ketika aku bangun terhampar samudera Hindia dengan deburan ombaknya, bukan jendela kayu tertutup ukuran 2 x 2 seperti sekarang.
“Sudah bangun?” tanya seseorang perempuan tiba – tiba dari arah pintu.
“Eh? Anda siapa?” tanyaku kaget.
“Semalam anda secara tidak sopan masuk ke mobil saya. Kemudian tidak sadarkan diri, untung saya baik hati sehingga mau menampung anda disini,” jawabnya dengan nada sinis.
“Oh iya?” tanggapku garuk – garuk kepala.
“Silahkan mandi kemudian sarapan, setelah itu saya antar anda pulang,” sahutnya sembari meletakkan handuk warna hijau dan sikat gigi baru.
Ingatan terakhirku akhirnya kembali. Setelah check in aku memang pergi ke diskotik dan aku lupa apa yang terjadi sesudah itu.
“Niang, Cendana pamit mudun, nggih?”1 ujarnya pada seorang wanita yang baru saja turun dari puri di sebelah rumah ini.
“Nggih, becik – becik di margine nggih, Cendana.”2 Wanita itu tersenyum melepas kami, di tangannya ada setangkup sesaji dan tersemat bunga warna kuning khas orang Bali.
“Oh jadi nama kamu Cendana,” sahutku sambil mengenakan sabuk pengaman disebelahnya.
“Cendana Anastasya,” balasnya dengan datar.
“Jadi nolong saya nggak ikhlas ni? Sampai jutek seperti itu?” godaku untuk mencairkan suasana.
“Saya biasa bertemu orang seperti anda, berkali – kali. Oh iya dimana penginapan anda?” tanyanya padaku sambil mengemudi mobil.
“Di KHR,” jawabku singkat.
“Oh jadi anda ini anak orang kaya yang sedang menghabiskan sisa – sisa uang?” timpalnya masih dengan nada sinisnya.
Kemudian ia fokus mengemudikan mobil yang kini membelah jalanan Bali. Tanaman padi yang ranum mengapit jalanan ini. Matahari sepenggal naik dari arah timur. Aku menoleh ke arahnya ketika dia berkata seperti tadi.
“Ehem, bukan. Saya cuma pegawai biasa yang sedang ingin liburan dari rutinitas kerja,” jelasku. Dia pasti paham jika KHR adalah salah satu hotel cukup berbintang di Bali sehingga wajar dia melontarkan asumsinya tadi.
Dia terdiam dan aku masih sibuk mengamati rimbun padi yang berjajar rapi. Senang rasanya tidak melihat macet dan kepungan mobil. Ini adalah liburan!
“Karena kota macet dan saya harus mengejar kapal, anda ikut saya sebentar ke toko buku ya,” katanya kemudian. Rambut panjang yang ia kuncir kuda meliuk – liuk diterpa angin.
“Wah kebetulan, saya juga mau beli bacaan.” Sanggahku tidak keberatan.
Seperti umumnya bangunan di Bali yang bercirikan puri – puri yang meliuk – liuk, toko buku ini juga berarsitektur bangunan yang sama. Petugas menyapa dengan bahasa Bali ketika kami memasuki toko. Aku memisahkan diri dengannya karena hendak ke rak genre buku favoritku. Tapi, buku yang aku cari ternyata tidak ada kemudian aku mencari perempuan itu di beberapa rak.
“Kamu mengumpulkan ensiklopedi anak? Mau disumbangin kemana?” tanyaku saat mendapati dirinya tekun merunut ensiklopedi anak.
“Iya, untuk anak saya,” jawabnya singkat.
“Hah? Dia sudah memiliki anak?” aku terkejut beberapa saat dan mengamati postur tubuhnya yang jauh dari unsur ibu – ibu yang sudah melahirkan.
“Untuk anak saya nantinya. Saya belum menikah,” jelasnya tiba – tiba seperti bisa membaca pikiranku.
“Dana penelitian saya baru turun, saya ambil sedikit untuk membeli buku untuk anak – anak saya,” ungkapnya lagi.
“Kenapa tidak nanti saja kalau sudah punya?” tanyaku sedikit ingin tahu. Ini sedikit aneh bagiku yang sampai hampir kepala tiga saja belum memikirkan untuk menikah, apalagi punya anak.
“Ensiklopedi itu banyak dan harganya mahal. Saya harus nabung kalau pengen anak – anak saya kasmaran ilmu pengetahuan lebih cepat daripada ibunya, kan belum tentu jodoh saya kaya raya” jawabnya santai kemudian menuju ke kasir. Aku terhenyak.
“Anak?????” otakku berdenyut kemudian.
Jalanan di Bali kota ternyata sama ramainya dengan Jakarta. Kemacetan ada di beberapa ruas termasuk karena pembangunan beberapa jalan tol baru. Mobil kami berbelok ke sebuah jasa pengiriman barang.
“Memangnya bukunya dikirim kemana?” tanyaku lagi.
“Ke rumah saya di Jawa. Saya bukan asli Bali, tapi Niang sudah menganggap saya seperti cucunya sendiri. Sewaktu saya melakukan penelitian di Ubud dia adalah house fam saya. Dan, hubungan itu berlanjut ketika sekarang saya penelitian di NTT,” ceritanya kini dengan nada yang sedikit bersahabat.
“Oh anda peneliti, anda mengejar kapal juga mau ke NTT?” tanyaku lagi.
“Iya,” jawabnya singkat bertepatan dengan kami sampai di lobby KHR.
“Eh, bolehkah saya ikut?” tawarku kemudian. Dia menoleh terhenyak kaget.
“Dulu saya ingin ke NTT, tapi tidak pernah punya teman kesana,” balasku mencoba meyakinkannya. Aku memang sering membaca keindahan NTT padang savana dan kuda sumba yang aku yakin akan melengkapi liburanku.
“Bawa ransel anda, tidak usah bawa barang banyak,” pesannya sebagai tanda mengijinkan. Aku tersenyum girang. Kapan lagi ke NTT? Akan aku post di social mediaku biar semua orang tahu aku liburan! Bali itu terlalu mainstream!
Pelabuhan Benoa ramai oleh manusia. Bau ikan, keringnya udara dengan menguarnya rasa asin menjadi atmosfer ketika kami sampai disana. Wanita berkulit sawo matang itu semakin eksotis diterpa sinar matahari jam 1 siang ini.
“Oh ya kenalkan nama saya Sesang,” kenalku padanya. Kami sedang di buritan kapal.
Dia diam berdeham dan melemparkan pandang ke luasnya Samudera Hindia.
“Kenapa nggak naik pesawat aja?” tanyaku mencoba membuka pembicaraan.
“Mahal Tuan Muda, sebagai peneliti efisiensi dana adalah segalanya. Lagi pula menikmati alam adalah seperti ini. Berinteraksi dengan manusianya pula, bukan singkat dan terduduk kaku di sudut pesawat,” jelasnya. Aku terhenyak kembali.
“Hey, jangan panggil Tuan Muda,” larangku padanya.
“Lantas? Eksekutif muda?” ia tertawa dengan nada sinis.
“Panggil Sesang aja, Nona Cendana Anastasya” balasku tidak terima.
Kapal yang kami naiki merapat setelah hampir 36 jam di atas lautan. Setelah mencari tiket pesawat untukku pulang, kami lanjutkan menaiki mobil bak terbuka dan meliuk – liuk menuruni bukit hingga badanku kaku. Semacet apapun di Jakarta tetaplah duduk di mobil dengan jalan halus. Aku baru sadar benar ketidakmerataan negeri ini terpampang di hadapanku. Aku hampir mual beberapa kali karena beratnya medan, Cendana hanya terduduk di sebelahku tidak terlihat letih.
“Sudah sampai, yuk turun!” ajaknya kepadaku sambil membuka pintu mobil yang dikemudikan oleh orang asli NTT sepertinya.
“Oleskan ini biar nggak pegel – pegel,” ia memberiku minyak gosok dengan aroma harum yang khas.
Sinar matahari menerobos tegakan pohon – pohon di hadapanku. Suara burung riuh dan udara yang sangat berbeda dipadu dengan aroma khas yang harum. Entah apa. Aneh sebenarnya ketika bangun dan melihat tegakan pohon yang hijau rimbun, biasanya aku hanya melihat tegakan gedung – gedung pencakar langit.
“Paru – paru kamu pasti hari ini sangat bahagia,” Cendana sudah ada di sebelahku ketika aku asyik memejamkan mata.
“Ya, mana bisa menghirup udara sebersih ini di Jakarta,” balasku sembari tersenyum.
“Ini aroma cendana,” ujarnya sembari memejamkan mata. Dan, saat itu entah mengapa jantungku berdegup tiba – tiba ketika melihat senyumnya saat memejamkan mata. Indah.
Tiba – tiba dia menoleh ke arahku ketika aku hampir terpaku menatapnya.
“Ini tempat penelitian kamu?” tanyaku untuk menghilangkan kecanggungan.
“Iya, kita ada di Desa Ponain salah satu sentra cendana di kabupaten Kupang. Kamu tahu, sejak abad ke-4 NTT dikenal dunia sebagai penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal itu. Cendana yang tumbuh di daerah kering akan menghasilkan kayu berkualitas baik. Hampir seluruh NTT cocok untuk cendana. Ironisnya, kini cendana di NTT diambang kepunahan,” ceritanya dengan nada sedih menyayangkan.
Aku terdiam. Sejak aku bekerja yang aku baca hanya grafik, laporan, perkembangan perekonomian dunia. Justru aku sering membaca kepunahan vegetasi di luar negeri.
“Jauh sebelum menjadi komoditas perdagangan, cendana dikeramatkan. Para tetua Timor dulu sering menggelar ritual khusus agar cendana tumbuh subur dan semakin harum. Aroma cendana yang semerbak menjadi isyarat hubungan harmonis antara manusia dengan leluhur, alam raya dan wujud tertinggi. Karena itu, dulu cendana selalu terjaga,” ceritanya.
“Kamu tau, di masa lampau cendana dipersepsikan sebagai gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat, serta tanah Timor. Dalam mitologi, cendana disebut hau meni, gadis sumber keharuman. Sang Gadis yang harus dijaga kelestariannya. Tapi, lagi dan lagi karena uang dan keserakahan manusia. Cendana mulai bergeser sejak dia dijadikan komoditas dagang seiring datangnya pedagang Gujarat,” imbuhnya lagi kali ini dengan nada sedikit marah sembari menatap tegakan pohon cendana di pekarangan rumah inap kami.
“Jadi kamu ingin jadi gadis seperti itu juga?” tanggapku asal.
“Hahahaha, ya. Keharuman dengan caraku sendiri,” jawabnya singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Lagi aku terhenyak.
Setelah dua hari menginap di Ponain aku harus pulang terlebih dulu. Ini berhubungan juga dengan jatah cutiku yang hanya delapan hari.
“Sudah lama jadi peneliti hutan?” tanyaku padanya di atas mobil bak terbuka ketika ia mengantarkanku ke bandara.
“Sejak kuliah master, baru dua tahun lalu. Masih terlalu dini dikatakan peneliti hutan,” jawabnya kemudian.
“Oh iya, master dimana? Australi? Denmark? Belanda? Jepang?” tebakku.
“Nggak, di Indonesia saja. Untuk apa saya jauh – jauh ke luar negeri jika sebenarnya saya ingin meneliti hutan – hutan di Indonesia? Kalau kata penulis favorit saya, yang membuat keren, elit, atau hebat dari proses belajar adalah kita sendiri bukan selamanya tentang tempat dimana kita belajar,” balasnya. Aku terhenyak sekian kalinya.
“Lagi pula sejak membaca banyak kerusakan alam di luar negeri, saya jadi ngeri sendiri. Bagi saya Indonesia indah dengan keindahannya, mungkin karena sejak awal saya tahu tujuan hidup saya jadi saya tidak perlu kuliah di luar negeri. Cukup ke luar negeri sesekali untuk presentasi dan undangan konferensi,” jelasnya lagi kali ini dengan nada sombong diujungnya.
“Oh ya, sudah kemana saja?” tanyaku semakin penasaran.
“Ya syukurlah kesempatan dari Sang Maha Pencipta saya pernah ke beberapa negara. Oh iya, anda jangan terlalu banyak mabuk, hidup ini terlalu pemborosan jika hanya untuk mabuk, Tuan Muda,” kali ini dia melirik ke arahku.
Mukaku memerah karena malu.
“Uang yang anda hambur – hamburkan itu lebih baik untuk yang lebih bermanfaat jika disumbangkan ke berbagai konservasi alam, orang utan, atau mendanai peneliti – peneliti kecil seperti saya ini,” ungkapnya.
“Ya, mungkin kamu ada benarnya. Saya sebenarnya juga bingung dengan hidup saya. Dulu sewaktu muda saya ingin punya banyak uang, saham, deposito hingga kuliah ke luar negeri. Tapi, setelah saya mendapatkan semua yang dulu saya anggap pandangan sukses, ada sesuatu yang kering, entah apa.” Ceritaku begitu saja padanya. Ya, karena memang itu juga alasanku untuk liburan. Jenuh. Aku ingin menikmati uangku.-Dulu itu yang aku inginkan.
Dia terbahak.
“Hey! Saya tadi tidak sedang melucu!” dengus ku tersinggung.
“Mungkin anda hanya berpura – pura bahagia, Tuan Muda. Itu kesuksesan yang ingin orang lain lihat, bukan kebahagiaan yang benar – benar dari diri anda sendiri. Ah, itulah manusia sekarang, itu juga yang saya kira membuat cendana jadi hampir musnah. Semua hanya karena uang. Mereka lupa pada asal mereka, mereka lupa alam dan keseimbangan hidup.” Suaranya bening lamat – lamat terhalau angin savana.
Aku terdiam.
“Saya salut dengan orang Dataran Tinggi Papua, Pulau tropis Tikopia, dan Tokugawa Jepang yang akhirnya mau bersepakat dengan alam. Begitulah saya kira juga manusia dan hidupnya, harusnya mereka bersepakat dengan diri sendiri bukan bersepakat dengan kesepakatan orang lain,” rambut panjangnya tergerai tertiup angin.
Handphone ku tiba – tiba bergetar tepat ketika mobil ini ada di lobby bandara.
“Pak, Saham kita anjlok. Bapak komisaris ingin anda segera pulang ke Jakarta”
Email singkat itu mengacaukan pikiranku. Astaga tak bisakah aku liburan dengan tenang?
“Hey, aku pamit duluan ya!” pamitku pada Cendana sembari menepuk bahunya dan berlari ke pintu masuk bandara.
11 bulan kemudian………..
Alat tanam dan penyiram tanaman masih tergeletak disamping kami. Beberapa volunteer dan warga sekitar yang hari itu ikut kini terduduk sambil menegak minuman dan menyantap makanan yang tersedia. Aku duduk di salah satu batu sungai yang ukurannya cukup besar sambil membersihkan tanganku dari tanah liat.
“Makasih ya,” ujarnya pelan.
“Hmmmm….” aku berdehem sambil tersenyum. Mukaku memerah. Malu sekaligus terkejut.
Setelah aku pulang dari liburan dan kacaunya urusan kantor, entah mengapa aku menemukan sesuatu yang mungkin selama ini aku cari. Mungkin Jakarta dan riuhnya kantor bukan hidupku. Mungkin sendirian dan deposito yang terendap bukan bahagiaku. Setelah aku terus bertanya tujuan dan siapa diriku, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari kantor. Lantas kembali ke kesenanganku dan tujuanku, yakni menjalani bisnis sendiri – penguasaha travel dan membuat resort. Kemudian memutuskan untuk menikahinya. Hau Meni-ku.
“Eh, gimana dulu kamu bisa nemuin email-ku?” tanyanya kemudian.
Hampir sebulan kami disibukkan dengan persiapan pernikahan yang tiba – tiba sejak aku melamarnya via email tiga bulan yang lalu. Kami bahkan baru bertemu lagi hari ini, seminggu jelang pernikahan kami.
“Apa gunanya mesin pencari abad 21 kalau aku nggak bisa nemuin nama ‘Cendana Anastasya’ yang udah punya buku dan publikasi ilmiah itu?” balasku pongah. Dia tertawa.
Dalam emailku yang tidak resmi serta jauh dari kesan romatis, aku melamarnya. Setelah membaca beberapa bukunya, berbagai page tulisan di situsnya, dan penelitiannya aku jatuh cinta begitu saja pada sosoknya. Cendana Anastasya.
‘Hey Tuan Muda Pemabuk! Anda tidak sopan sekali tiba – tiba melamar saya, memangnya anda tahu saya masih sendiri atau punya pacar? Lagi pula saya tidak mau punya suami workholic yang tidak mencintai dirinya sendiri.’
Balasnya di email pertamaku.
‘Oh, jadi sekarang penguasaha travel. Selamat ya! Hmmm,….kalau anda mau melamar saya datanglah ke orang tua saya. Dan, anda harus menanam 500 cendana di Desa Tesbatan dan 500 jati dan mahoni di hutan bukit desa saya di Jawa sana’
Balasnya lagi padaku.
Dan, hari ini adalah terpenuhinya salah satu syaratku untuk menikahinya.
“Jika tua nanti aku ingin hidup di desa ini. Dan, aku mau melihat hutan yang asri untuk bermain bersama anak – anakku,” ungkapnya kemudian sembari dia menatap ke arah bukit yang tepat diketingginya beberapa derajat di atas kami.
“Aku suka caramu mengharumkan hidupmu dan hidup orang disekitarmu,” batinku menatapnya lekat.
__________________________________________________
1. Nenek, Cendana pergi dulu ya?
2. Iya, hati – hati di jalan ya
Rumah, 141012
11.33 p.m
Lagi, soal imajinasi dan opini
Inspirasi :
Buku Ekspedisi Jejak Peradaban Kompas di NTT
Buku Runtuhnya peradaban – peradaban dunia
Pesan singkat soal bahasa Bali
Thank you, Cendana 🙂
Aaah kerennya 🙂 suka
Terima kasih, – karena kenangan ada bukan untuk dilupa 😉