(tak) Ingin Menulis dan Menyimpan Hati

“Hai Fatis, gimana persiapan percobaan pertama menjadi manusia hutan? ” sapannya kikuk kala kami berpapasan di camp.

Aku hanya membalas dengan senyuman. Segera aku beranjak dari kadang Momo. Aku tak tahan bertemu lebih lama dengannya.

Dia, namanya Gugum Gumilar. Kami sebaya, kami satu profesi, kami satu tempat kerja dan dulu satu tempat kuliah. Aku telah mengenalnya hampir enam tahun terakhir. Iya, dari bangku kuliah sampai bekerja sekarang. Terlalu lama.

 

Semuanya menjadi terlalu lama bagiku, mungkin tidak baginya. Terlalu lama untuk segumpal harapan ini.
Cuma segumpal, aku tak pernah bermaksud memeliharanya tapi ini bertahan sebegitu lamanya. Tanpa aku sadari. Berkali aku mengelak, berkali aku terluka. Dan, berkali pula sebenarnya aku melihatnya bersama dengan perempuan lainentah sudah berapa kali, tapi nyatanya gumpalan ini tidak juga hancur. Masih bercongkol kuat, seakan masih ada saja oksigen dan darah yang memberinya sari makanan. Aku takut menyebutnya, tapi semua teman menjawab itu – harapan.

Dia benar, aku baru  pulang menjadi manusia hutan. Ini pengalaman pertama, tapi nantinya akan jadi tugas sehari hari. Sebab ini merupakan kegiatan rutin di yayasan reintroduksi orang utan  – kami akan bergantian tinggal di hutan belantara untuk observasi orang hutan yang sudah di release. Oh ya, saat ini aku dan dia menjadi salah satu tim dokter hewan di sini.

Pagi ini aku bangun lebih pagi, menghirup udara hutan dan menjemput terbit matahari. Hari ini aku akan berangkat, meninggalkan peradaban, meninggalkan camp dan hanya berteman pada hutan dan beberapa orang teman. Ini pasti akan menyenangkan, meninggalkan sejenak harapan. Melupakan. Aku lelah.

“Sudah siap untuk masuk dunia lain Fatis?”, tanya Tazta sahabat satu camp-ku.

“Aku senang, mungkin dengan begini aku bisa lupa,” jawabku sekenanya sambil memasukkan berbagai peralatan yang nantinya dibutuhkan.

Tujuan dari observasi kami adalah Hutan lindung Batikap belantara perbatasan Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat dan Malaysia. Ada lima belas orang utan yang batu saja di release camp untuk kembali ke alam bebas. Sebelumnya, empat orangutan telah dilepasliarkan di Batikap pada akhir Februari 2012, disusul 11 orangutan lain pada akhir Maret 2012. Total 40 orangutan yang akan dilepasliarkan Yayasan kami tahun ini.

“Jangan lupa bawa lotion nyamuk, disana nyamuknya segede orang utan,” celetuk Gugum tiba – tiba kala aku menuruni tangga.

“Sudah aku minum tadi,” jawabku dengan candaan sekenanya. Dia hanya tersenyum, dan kembali sibuk dengan orang utan ditangannya.

Aku segera naik ke atas pick up, bertemu dengannya sebelum keberangkatan sebetulnya bukan hal yang aku harapkan. Namun, segera aku lupakan sebab petualangan ada di depan mata. Hutan Lindung Batikap.

Di atas pick up sudah ada Domia, Borno, Sandi, Pak Sudri, Cakra, aku dan Nara. Kami adalah tim untuk observasi bulan ini. Pertama kami menuju ke Sei Hanyu setelah itu kami akan menyebrang ke Tumbang Lahung. Seperti biasa, kami sedikit sibuk dengan berbagai data dan cek ulang berbagai peralatan. Medan tanah liat dan berlumpur, kalau tidak berhati – hati pick up kami bisa terjebak di kubangan. Pak sudri yang setiap bulan bahkan minggu melalui jalur ini sedikit banyak membuat kami lega campur panik.

“Kemarin Gugum cerita katanya setiap lewat sini dia di suruh dorong,” cerita Cakra tiba – tiba ditengah goncangan ini. Aku tertegun. Lagi – lagi namamu disebutnya.

“Awak tak maksud buat Gugum dorong  mobil ni, tapi mau bagaimane medan sulit,” sahut pak Sudri yang seakan mencoba menenangkan kami bahwa kami tidak akan mendorong pick up BOS ini.

“Kalau ntar macet, tuh biar Borno yang dorong,” lempar Nara kemudian. Borno yang berbadan paling kurus diantara para laki – laki disana hanya menjawab dengan senyuman. Pemuda kalem itu mungkin diragukan tenaganya, tapi sebenarnya setengah tahun terakhir dia mencoba keras untuk tidak menjadi anak mama disini. Semua tertawa.

Begitulah kalau jodoh memang tidak kemana. Baru beberapa menit yang lalu mengatakan soal pick up yang terjebak lumpur, kami akhirnya mengalami hal yang sama.

“Dorong, semua turun dan bantu!” perintah Cakra pada kami semua. Dia memang ketua observasi kali ini. Siapapun kami, perempuan atau laki – laki harus ikut membantu. Karena kami tim.

Ternyata benar, medan adalah lumpur yang cukup dalam. Hampir dua puluh senti kakiku tenggelam dalam lumpur. Pak Sudri bersusah payah memegang kemudi, menyelamatkan pick up yang terjebak.

Setengah jam berkutat, kami berhasil. Sayang, harus ada korban dari keberhasilan kami. Handphone Cakra berenang dalam lumpur. Mukannya pias.

“Salah sendiri bawa handphone, toh nantinya bakal dalam kondisi ‘no signal dan limited electricity’,” gumamku dalam hati. Saat ini kami sedang menaiki motor air, ini akan ditempuh selama empat jam.

Matahari hampir tumbang sampai akhirnya kami berpindah memakai kelotok menuju Sungai Barito. Ini akan memakan enam jam perjalanan sampai ke tujuan kami.

“Aku kangen rumah Fatis,” kata Domia padaku. Rambutnya yang dikuncir kuda terbang diterpa angin sore.

“Kangen rumah atau kangen Robi?” godaku padanya. Wajahnya memerah. Kami duduk bersisihan memainkan air sungai Barito.

Selepas makan malam beberapa dari kami memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup menyita energi. Tentu saja lebih berat dari pada sekedar berkeliling camp untuk memeriksa orang utan. Aku duduk di sisi depan kelotok, bunyinya yang pecah sendiri dalam keheningan menjadi hiburanku. Namun, keheningan semacam ini akan menjadi bombardier semua atas kenangan. Tapi kenangan yang mana? aku bertanya ragu pada hatiku.

“Aku daftar di Yayasan reintroduksi orang utan di Kalteng , Fatis,” katanya padaku saat bertemu setelah selesai wisuda profesi delapan bulan yang lalu.

“Oh ya? Aku juga mendaftar disana,” ungkapku kemudian. Dia mungkin sudah tahu, karena sejak awal aku masuk kedokteran hewan disana tujuanku, ke tanah lahir Mamak- tanah Kalimantan.

Entah kebetulan atau apa, dia juga diterima. Saat itu aku sudah bersyukur bisa segera lulus. Setidaknya aku tidak akan bertemu dia, dia asli Jawa. Mamanya tidak akan mau jauh dari dia. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Justru kami bertemu lagi dan satu tempat kerja ditengah hutan belantara. Aku mengikuti alur Tuhan sampai titik ini. Bertanya maksud.

Bintang gemintang bertabur penuh. Angina malam semakin dingin, aku merapatkan jaket.

“Nggak tidur Fatiska?” sapa Cakra padaku. Dia sepertinya masih berkutat dengan handphonenya.

“Belum ngantuk. Hey bagaimana handphone-mu?” tanyaku penuh simpati.

“Sepertinya tidak bisa diselamatkan,” jawabnya sembari membolak balik handphone.

“Sebulan lagi move on lah, beli baru,” aku nyengir ke arahnya.

“Eh Fatis, ada pesan yang hendak aku sampaikan padamu,” katanya tiba – tiba. Aku terhenyak, pasti Gugum.

“Aku tak tahu mesti ngomong ini dengan awal apa, tapi Gugum bilang padaku………” dia menghela nafas.

Aku menunggu.

“Seharusnya Fatis mengerti dan mampu membaca,” lanjutnya seolah dia adalah Gugum. Aku terkesiap dan beberapa detik mematung. Seperti tersedot dalam kubangan yang besar dan tenggelam dalam lumpur hidup.

“Membaca apa? Apa maksudnya?” tanyaku padanya lagi penasaran.

“Aku tak tahu maksudnya apa, mungkin Cuma kamu yang tahu jawabannya,” balasnya sembari berlalu.

Entah perasaan apa ini, sesak. Seperti ada yang tertahan dalam dada, rasanya sakit. Aku tak tahu pasti apa arti dari titipan perkataan itu. Membaca apa? Aku tidak paham. Membaca jika dia juga menyukaiku? Atau membaca bahwa aku tidak mungkin bersamanya? Apa? Aku masih tidak mengerti. Semua pertanyaan mengambang, seperti balokan kayu yang tertambat di pinggir sungai. Tak tahu akan kemana. Terdampar.

“Karena aku takut bicara tentang hati, maka ku tuliskan saja. Lalu ku simpan, mungkin akan aku kirim ke………… entah kemana”- tulisku malam itu di atas perahu kelotok sambil mencoba untuk terus menghirup udara. Sesak.

Selesai, 10.40 PM.

29 juli 2012

Cerita, tidak tahu. Namun, mencoba paham… 

 

7 thoughts on “(tak) Ingin Menulis dan Menyimpan Hati

  1. Awalnya, padaku sempat menyusul pertanyaan, bila kuteruskan mungkinkah aku akan semakin menjadi “gila” di tengah masyarakat/dunia? Namun, kalaupun aku mengikuti “arus dunia”–dengan berpura-pura seolah tidak pernah terjadi apa-apa, kembali tenggelam dalam keseharian tanpa menghiraukan pengalaman ‘itu’ yang sebelumnya telah berkali-kali dialami– kalaupun demikian, bagaimanapun, jauh di dalam batin ini, ketakutan dan kesedihan eksistensial yang sangat mendasar itu ada. Meski kemunculannya tak bisa diduga, urusan satu ini tidak bisa dibohongi. Itu ada.

  2. Idea yg menarik … tapi rasanya persembahan bahasa perlu di
    perbaiki… maaf ye admin .. bukan nak menegur .. tapi idea awak memang menarik…
    dan kalau gaya bahasa lebih baik… saya pasti
    ramai pengunjung pas nie…

  3. (“Kemarin Gugum cerita katanya setiap lewat sini dia di suruh dorong,” cerita Cakra tiba – tiba ditengah goncangan ini. Aku tertegun. Lagi – lagi namaMU disebutnya). engga tau kenapa kata ganti mu nya malah bikin bingung. soalnya dari awal Gugum disebut “dia” bukan “kamu”. ada di beberapa kata yg lain jg kayanya.

    terus ada flash back nya ya mulai “Aku daftar di Yayasan reintroduksi orang utan di Kalteng , Fatis,” pas baca bagian ini jg aku agak loading “aku” siapa ya? meski akhirnya tau kalau itu gugum. Sebenernya yg dimaksud alur tunggal dalam cerpen itu gmana ka? kalau flashback boleh?

    tp aku suka ending nya ^_^
    cerita tentang orang utan mengingatkan pada partikelnya dee

    1. Aku belum pakar – pakar amat sih, hahaha. Aku menulis sesukaku aja, masalah plot kalau memang alurnya campuran menurutku si nggak masalah. Karena sometimes flash back punya fungsi menegaskan suatu peristiwa sehingga masalah yang dialami oleh tokoh tersampaikan pada pembaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *