“Aku hujan dan kamu payung, kita hanya bertemu saat hujan….” Ujar Mr. Rain mengaduk coklat panas yang baru saja datang.
“Kalau lagi kemarau rindu banget dong kering kerontang,” tanggap Nona Umbrella sekenanya sambil mengamati hujan yang begitu deras di balik jendela besar tak jauh dari mereka.
“Kebetulan sekarang sudah tidak ada musim kemarau, alam sudah rusak,” balas Mr. Rain dengan senyum sumringah di bibirnya.
Nona Umbrella terkesiap, bola matanya yang sejak tadi mengamati titik titik hasil evaporasi itu kembali ke arah lawan bicaranya. “Sepertinya kamu perlu memberi tahu scientist agar tidak menjadikan climate changes sebagai hal yang perlu dirisaukan,” ungkap Nona Umbrella.
Mr. Rain mengulas senyum, “sure.”
“Lantas tidak perlu memendam rindu terlalu lama. Bisa bertemu lagi dan lagi karena temu adalah candu,” sahut Nona Umbrella.
“Lebih enak itu, kadang bisa ketemu kadang nggak. Lebih menantang….” Mr. Rain menanggapi dibumbui senyum diujungnya.
Nona Umbrella mencerna baik kata-kata itu. “Bertemu sepanjang waktu memang kadang membosankan. Apakah pernikahan seperti itu?” tanyanya dalam hati.
“Berarti hujan dan payung hubungan yang indah?” uji Nona Umbrella sambil menyeruput jus perpaduan antara pakcoy dan nanas serta bahan lain yang membuatnya segar.
“Indeed, tapi nggak bisa bersama,” jawab Mr. Rain dengan begitu tenang.
Nona Umbrella tersenyum smirk. Dalam hati ia tahu maksud arah pembicaraan itu. “Kita nggak bisa bersama begitu kan maksud kamu?” gumamnya dalam hati. Berpura-pura menjadi orang bodoh yang tidak tahu bahwa laki-laki di hadapannya adalah suami orang. Padahal dengan kecanggihan jejak digital dengan mudahnya ia tahu bahwa laki-laki itu adalah seseorang yang masih terikat dalam pernikahan. Kenapa bahasa inggris begitu mudah membedakan panggilan untuk seorang wanita sudah bersuami dan belum, sedangkan laki-laki tidak? Bahasa saja sudah bersekongkol dengan kaum adam.
“Kapan hari dikirimi temen lagu,” Mr. Rain memecah keheningan yang tiba-tiba tercipta.
“Apa tuh?” tanya Nona Umbrella.
“Lagu Hujan…coba dengerin deh…” Mr. Rain menempelkan airpods ke telinga gadis di hadapannya dan sebuah lagu mengalun pelan.
“Kata Sapardi Joko Darmono hujan di bulan Juni aja udah tabah, kalau gitu hujan di bulan Agustus seperti apa?” kata Nona Umbrella setelah mendengarkan lagu 4 menit tersebut.
“Romantis….”
“Menurut kamu kenapa payung dan hujan bertemu kalau mereka nggak bisa bersama?” tanya Nona Umbrella kemudian.
“Karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik..” jawab laki-laki itu dengan begitu teduh.
“Maksudnya?” dahi Nona Umbrella berkerut tanda tidak mengerti.
“Artinya kebersamaan mereka nggak akan membawa kebaikan untuk mereka,” jelas Mr. Rain.
“Seperti kebersamaan kita maksud kamu?” gumam Nona Umbrella dalam hati. Dia hanya mengangguk tanda setuju.
“Bisa dibayangkan jika mereka bersama, hujan sepanjang hari belum tentu payung sekuat itu bersama hujan,” tambah laki-laki berwajah tirus itu.
Nona Umbrella menghela nafas dan memejamkan mata, “manusia selalu membingkai ketidakbersatuan sebagai tragedi, padahal mereka sedang berlaku komedi. Lucu seakan mereka mengira ketika ditakdirkan bersama selamanya mereka akan bahagia.”
“Karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik….” ulang Mr. Rain lagi dengan begitu tenang. Ketenangan inilah yang disukai Nona Umbrella, dia merasa bersama laki-laki ini dunia seakan berubah sunyi hanya berisi gemericik air yang tidak terburu-buru. Sebuah ketenangan yang dimiliki oleh laki-laki dewasa berpengalaman, berpengetahuan luas. Ya, ini ketenangan yang menjebak.
“Ada tujuh macam cinta, manakah cinta antara hujan dan payung?” tanya Nona Umbrella.
“Romantic love,” jawab Mr. Rain singkat.
“Poor…” gumam Nona Umbrella.
Mr. Rain tersenyum tipis, “Apa kamu ingin jawabannya consummate love?”
“Apa arti cinta, nafsu tanpa komitmen?” tanggap Nona Umbrella.
“Still love isn’t?”
“Twin of flame atau soulmate?” tanya Nona Umbrella lagi.
“Soulmate…” jawab Mr. Rain singkat.
Nona Umbrella menggeleng, “Ya, soulmate bukan twin of flame. Mungkin payung twin of flame sama mantol hujan.”
“Payung akan selalu menemukan hujan, begitu pun dengan hujan akan mudah mencumbu payung saat turun berjatuhan dari langit,” lanjut Nona Umbrella.
Mr. Rain kini menatap Nona Umbrella dengan lebih dalam, “apa jadinya ketika kita menemukan twin of flame satu di antara mereka sudah bersama yang lain?”
Nona Umbrella balas menatap Mr. Rain dengan dalam, “karena mereka serupa, sejiwa, sepemikiran, maka apa yang menjadi pemikiran satu orang satu sama lain adalah cermin sempurna. Jadi, apa yang dipikirkan satu sama lain akan saling mengerti tanpa harus mengatakan. Twin of flame membuka kedewasaan emosional dan spiritual.” Bola matanya kemudian beralih ke arah langit yang sudah semakin berkurang pekatnya.
“Saatnya kita pulang, hujan sudah berhenti….” Ucap Nona Umbrella sembari mengemasi beberapa barang yang terserak di meja.
“Nggak semua orang menemukan twin of flame mereka, dan tidak perlu dipaksakan seolah-olah bertemu,”tandas Nona Umbrella di bawah pohon Tanjung yang wangi dan bunganya satu dua jatuh berguguran di atas kepala mereka.
Keduanya berpisah tepat ketika titik terakhir hujan turun sore itu. Tapi, Nona Umbrella tetap memakai payung warna jingga miliknya. Ia tidak ingin hujan menyentuh kulitnya secara langsung. Ia takut demam. Demam tidaklah menyenangkan jika harus sendirian tanpa pelukan.