“Prosa kamu terlalu dalam,” sapaku mengagetkannya beberapa saat setelah acara selesai dan kami bertemu tepat di pintu keluar.
“Hay, aku Tara,” kenalku padanya yang masih tertegun beberapa detik karena sikapku yang sok akrab. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Hay, Aku Azalea. Aku tau nama kamu Tara, aku suka mendengarkan prosamu yang penuh semiotika.”
Sejurus itu aku tersenyum. Itulah kedua kalinya aku berkenalan dengan Azalea. Perempuan pengagum warna biru, entahlah mengapa dia begitu menyukai warna biru. Jujur saja aku tidak memiliki warna favorit, memfavoritkan sesuatu hal bukan tipeku.
Aku dan Azalea sebetulnya telah saling mengenal – kami penulis dari satu penerbit. Tapi, kami beda genre sehingga kami hanya sekedar tahu – bukan saling memahami. Biasanya di akhir bulan redaksi membuat sebuah forum sekedar memberikan waktu untuk membacakan prosa, puisi. Di ruang itulah kami akhirnya saling berkenalan dan ‘membaca’.
“Sudah lama menunggu?” suaraku menginfeksi senyap angin sore itu.
Dia menoleh, “Nggak kok, syukurnya birunya langit selalu setia menemani”.
Hari ini dia memakai jilbab warna tosca dengan terusan biru tua dipadu wedges denim. Matahari mulai turun walaupun belum begitu rendah, Jakarta di jam 5 sore bukanlah senja – masih terang. Kami sedang ada di atap gedung perkantoranku, tempat yang Azalea sukai ketika aku pindah ngantor disini. “Terima kasih sudah pindah. Aku merasa begitu dekat dengan langit disini,” itu alasan yang dia katakana ketika aku bertanya mengapa suka dengan tempat ini. Atap gedung ini difungsikan sebagai mushala dan sisanya adalah ruang terbuka. Ada beberapa potong silinder besi dengan diameter 40 centimeter yang biasanya digunakan oleh penyuka tempat ini untuk duduk – duduk.
“Gimana persiapan pernikahannya?” tanyaku mengambil duduk bersisihan dengannya.
“Semua udah diatur Abah sama Ibu,” jawabnya pendek seperti tidak berselera.
Oktober 2014…….
Aku baru saja membuka surel dari redaksi tentang launching buku terbaru Azalea ketika sebuah kotak chat berkedip.
Azalea Varola
Kenapa kita harus berpindah?
Bukanya tiba – tiba dengan pertanyaan filosofis.
Me
Kata Windy Ariestanty, karena berpindah adalah upaya untuk bertahan
Jawabku tak kalah filosofis. Ya, mungkin demikian cara kami berteman. Tidak banyak orang memahami tanda, makna, atau majas hingga semiotika. Azalea salah satu sahabat yang bisa diandalkan untuk mendengarkan ocehanku – yang mugkin bagi sebagian orang terlalu rumit atau tidak penting untuk dipedulikan.
Azalea Valora
Berpindah kenapa jadi bertahan?
Me
Kalau kita terus – terusan hidup di lingkungan yang nggak cocok, kita bisa mati. Adaptasi kita gagal. Dari zaman nenek moyang, mereka juga nomaden kan? Hanya dengan berpindah kita tau dimana tempat yang paling tepat untuk kita tempati selamanya.
Azalea Valora
Kapan kita harus menetap?
Me
Ketika semua sudah sesuai dengan diri kita.
Azalea Valora
Kayaknya aku bakal pindah – pindah rumah, pindah hati.
Me
Hah???? Serius???? Kemana???
Aku tersedak dan terkejut seketika membaca pesannya siang itu.
Azalea Valora
Ke hati yang (insyaAllah) tepat. Akhir Oktober nanti keluarganya datang ke rumah. Subhanallah Tara semua begitu cepat, hanya sebelas hari.
Me
Aaaaaaa CONGRATS! TURUT BERBAHAGIA! *hug*
Ketikku cepat.
Ada kelegaan ketika membaca pesan itu. “Prosa – prosa itu memang sebaiknya berakhir,” batinku. Sudah rumit jika terlalu berlarut – dan aku sangat berharap Azalea yang segera mengakhiri prosa – prosa itu.
“Kamu pantas dapet yang lebih baik dari dia Za,” kataku padanya sewaktu dia bercerita panjang lebar tentang laki – laki subyek dan perempuan sisipan awal tahun setahun yang lalu. Itu pertama kali kami bercerita secara tatap muka, secara lugas setelah sebelumnya kami hanya saling mendengarkan prosa.
“Kamu masih memiliki value karena nggak bersama dia, harusnya dia yang mempertahankan kamu. Kalau dia benar – benar memiliki perasaan itu, walaupun ada seribu perempuan sisipan yang datang dia tidak akan mengijinkan mengambil tempatmu. Kalau memang dia mengizinkan perempuan sisipan itu menyisipi kalian, berarti dia nggak pantas,” tambahku lagi.
Azalea terdiam. Tangisnya mungkin sudah benar – benar kering. Kami saling bercerita jauh setelah peristiwa – peristiwa itu hadir dalam hidupnya. Saat itu yang aku pahami dia sedang berusaha berdiri tegar menghadapi cinta pertamanya yang – akhirnya bukan jadi cinta pertamanya. Tapi, patah hati perdana dan jadi satu – satunya.
…
“Semalem dia bilang kalau dia cinta sama aku, Tara,” ceritanya tanpa menoleh ke arahku.
Aku menahan nafas menajamkan pandanganku ke arah arakan awan yang mulai bersemu jingga.
“Katanya dia bohong kalau dia nggak cinta sama aku, tapi…” Dia tidak meneruskan perkataanya.
Beberapa burung gereja bertengger di permukaan sisa – sisa genangan air yang tidak jauh dari kami. Angin berhembus pelan.
“Lalu? Kalau dia cinta sama kamu, kalian mau apa? Membatalkan pernikahan ini?” tanyaku dengan nada tanya yang terlalu menekan di beberapa bagiannya.
“Seperti sakura yang terlambat berbunga. Nggak mungkin Tara, aku bisa menyakiti banyak orang jika aku berlaku seperti itu,” sanggahnya seperti mencoba untuk mengatakan itu juga pada dirinya sendiri.
“Please Za, ini dunia nyata. Rasionalisasikan semuanya. Kata Bang Tere apalah jadinya jika cinta itu tidak memakai logika? Maka luka itu akan menganga lagi esok atau lusa dan seterusnya.” Untuk hal – hal seperti ini aku sebal dengan dia si INFP si Idealis yang bersikeras dengan idealismenya.
“Aku berharap ada keajaiban,” sahutnya lirih sambil menengadah ke langit.
“Keajaiban apa? Kamu ingin Nafi datang bersama orang tuanya untuk melamar kamu? Please, mana bisa. Tidak ada aturan keajaiban di saat kamu udah diikat oleh orang lain. Lagi pula aku nggak yakin Nafi akan melakukan itu. Dia belum berdamai dengan dirinya sendiri Azalea. Masih ada banyak hal yang ingin dia kejar sendirian, bukan bersama siapapun. Kalau memang dia minta kamu nunggu, akan berapa lama kamu nunggu? Apakah kamu yakin dia yang kamu tunggu akan menghargai penantian kamu itu? Apakah kamu seyakin itu tidak akan ada lagi perempuan sisipan lain yang datang? Kamu nunggu dia, usia kita menua. Iya kalau dia masih mau sama kamu, kalau nggak?” protesku panjang lebar.
Dia menghela nafas.
“Kamu sudah menjabarkan semuanya, Tara,” lirih terdengar kalimat itu olehku.
“Azalea, you are already happy. Dia yang dengan tanpa basa – basi membuktikan kesanggupannya untuk mencintai kamu seumur hidupnya sudah datang. Dia tidak mempersyaratkan apa – apa, kecuali mempersyaratkan hati kamu untuk belajar mencintai dia,” tukasku. Jilbab birunya berkibar dan bersemu orange ditimpa cahaya senja.
“Ya, kita memang harusnya setia. Tapi, setia yang bukan pada tempatnya hanya akan jadi percuma. So, lupakan Nafi! Dan, mulailah membuat rumah kamu yang baru dengan proses yang lebih sempurna.” Aku menepuk pelan bahunya.
“Kamu tahu, harusnya kamu bersyukur kamu hanya sekali merasakan patah hati dan akhirnya menemukan pemahat hati. Aku? Harus berkali – kali hingga memahami hakikat perjalanan dari satu menjadi dua. Bahkan sampai sekarang belum ketemu – ketemu dengan siapa akhirnya,” candaku sambil mengurai nada setelah sebelumnya rasanya aku ingin memarahinya.
“Langit aja mau nomaden dari biru ke kelabu, ke jingga sampai merah saga. Masak iya sih kamu nggak mau move on ke langit yang lebih tinggi dan lebih biru? Yang sebenar – benarnya langit, bukan cuma langit – langit.”
Matahari turun berangsur dari langit Jakarta. Adzan berkumandang saat dia menarik nafas dan menepuk balik bahuku.
….
Altar dengan sematan mawar biru yang nampaknya sengaja dipesan dari tempat yang jauh dari tempat ini sedang ditata oleh beberapa orang. Ada sepasang kursi dengan ukiran dan diapit dua pasang kursi lainnya yang esok akan di duduki oleh dua orang tua kedua mempelai. Kursi – kursi berpita tosca memagari tempat tersebut.
“Azalea ada tante?” tanyaku pada Ibu Novi setelah mencium tangan beliau.
“Ada dong, masak ilang sih. Kan dipingit. Ada tuh di kamar, naik aja!” candanya. Aku tertawa.
“Selamat ya Tante,” tambahku.
“Doain semua lancar ya, Nak,” ujar beliau dengan nada penuh harap.
“Amin,” sahutku sambil pamit berlalu.
Rangkaian mawar biru dan beberapa lily putih menggantung diatas pintu kamar itu.
“Kamu bahagia kan?” Tanpa basa basi aku memasuki kamar yang kini dipenuhi oleh seserahan dan bunga – bungaan.
Malam ini ia nampak cantik dengan terusan warna biru muda dan tangannya telah dipenuhi oleh hena.
“Hey!!!! Aku kira kamu nggak datang, jahat banget ngilang gitu aja. Aku kirim pesan berkali – kali nggak dibales!” dengan nada protes dia memelukku sambil memukul – mukul.
“Hahaha kan biar kejutan.” Aku tertawa sambil memegang pundaknya.
“Bahagia kan?” tanyaku memastikan.
“Dibuat bahagia, banyak sekali hal – hal yang bikin aku ngerasa nggak nyambung sama dia. Tapi, aku niatkan karena Allah jadi supaya aku bahagia. Ya, dengan ingat Yang Maha Pengasih ya aku bahagia. Aku banyak belajar makna mencintai karena Allah,” jawabnya dengan senyuman.
“Hal – hal yang buruk hanya di pikiran manusia, di tangan Allah semua baik – baik aja,” ucapku sekenanya. Apalagi yang bisa aku katakan? Aku hanya yakin besok dia akan melupakan semua keluh kesahnya dan tersenyum bahagia penuh syukur ketika malaikat mengaminkan ijab kabul ditambah doa dari saudara dan sahabat.
“Kamu udah ngilang berhari – hari. Dan, nggak ada kejutan apa – apa?” tagihnya seperti seorang perampok.
“Aku bawa hadiah,” ujarku.
“Apa?” dia penasaran.
“Ini,” “Define your truly happiness, Nomaden Blue”
ejanya pada sebuah buku yang dirakit sederhana.
Nomaden Blue
….
Jakarta, 150128 – 10.04 P.M
Dibuat sebagai doa yang tiada tara penulis ulang
untuk sahabatnya yang ulung.
Selamat tanggal 7 Himsa :*
2 thoughts on “Nomaden Blue”
Azalea sekarang benar-benar bahagia. Bukan bahagia semua. Tp begitulah bahagia yg dr dulu dirindu :*
Salam buat Tara.. Thanks for being a very best friend for azalea
Azalea sekarang benar-benar bahagia. Bukan bahagia semua. Tp begitulah bahagia yg dr dulu dirindu :*
Salam buat Tara.. Thanks for being a very best friend for azalea
Bahagia yang tiada tara 🙂 Can’t count by mathematics or economics, but only count by communications hahahahahah *apaan ini*