Jika ingin menjadi perempuan seutuhnya seseorang harus bersedia dipanggil ibu. Saya tidak tahu ya apakah ada wanita di dunia ini yang tidak ingin menjadi seorang ibu. Tapi, bukankah kodrat perempuan memang melahirkan?
Ketika saya mendefinisikan bahagia dalam hidup saya, bukan pernikahan yang menjadi hal yang pertama yang terpikirkan tapi justru tentang anak – anak. Karena anak – anak sangat rapuh. Ketika ada sedikit memori buruk dalam masa kanak – kanak mereka, maka bisa jadi itu menjadi luka yang dibawa sampai dewasa. Bahkan, pas belum dewasa bisa aja terjadi yang tidak – tidak. (efek banyak baca kajian komunikasi massa).
Saya belum banyak belajar tentang psikologi anak. Tapi, beberapa kali membaca buku dan membandingkan kasus. Hasilnya, ya demikian soal masa kanak – kanak yang polos dan rapuh yang kadang disepelekan oleh orang tua. “Anak – anak masih kecil mereka belum mengerti,” begitu kata mereka. Mungkin karena masa kanak – kanak sudah mereka lupakan rasanya sehingga berkata demikian. Padahal bukankah setiap masa hanya datang sekali dan tidak akan terulang lagi? Lalu mengapa mereka begitu ceroboh menggampangkan begitu saja?
Saya jadi berpikir apakah sebaiknya ada campaign semacam parenting untuk kaum muda ya? Mendidik anak kan bukan trial dan eror, hanya sekali. Masak iya sih nggak dipersiapkan? Anak – anak memiliki pemahaman yang berbeda terhadap realitas, kadang orang dewasa menyamakannya padahal tidakkah mereka berpikir sedikit lebih mendalam terhadap konsep kanak – kanak yang masih polos itu?
Pesona Menikah Muda
Saya tidak kontra terhadap hal ini. Toh pernikahan adalah hal yang mulia dan penuh keberkahan menurut Agama. Kata pepatah pernikahan adalah sebuah peristiwa peradaban. Tapi, saya akan kontra pada pernikahan suka – suka yang tidak didasari kematangan. Ada yang bilang – kalau udah punya anak kan belajar sendiri. Saya menerima itu, jika seseorang tersebut bersedia belajar. Kalau nggak? Anak – anak akan tumbuh sendiri dengan pandangannya sendiri dan tibalah saatnya nanti bim salabim akan jadi apa. Dan, jadilah generasi yang semakin suka – suka. Padahal kata ilmu yanga ada, seseorang sebenarnya sudah bisa diketahui jadi apa saat usia 14 tahun. Artinya, 0-14 tahun inilah yang menentukan seseorang – apa yang dimiliki dan diasah pada masa – masa tersebut.
Nggak tahu kenapa saya selalu berpikir ada baiknya setiap single atau yang akan menikah membaca buku parenting atau ikut seminar parenting. Kalau masalah hubungan pernikahan, saya yakin asalkan kedua belah pihak sama – sama memahami, saling bersedia menekan ego dan berkepala dingin serta memiliki visi dan misi yang sejalan akan lebih mudah menjalani hubungan interpersonal dewasa. Tapi, untuk mengetahui anak – anak darimanalah seorang dewasa tahu karena setiap anak tidak diajari untuk mengajari. Tapi, setiap anak justru belajar dari role model.
Menurut saya menikah bukan tentang dua orang menjadi satu, tapi bagaimana membuat sebuah tim yang tangguh. Memiliki partner yang tepat untuk membesarkan generasi lanjutan. Pernikahan menurut saya sebaiknya dilakoni oleh dua orang secara sadar dan telah berdamai dengan dirinya sendiri.
Karena, anak – anak haruslah diberikan pemahaman terbaik tentang kehidupan. Dan, yang bisa memberikan semua itu hanya mereka yang bahagia hatinya. Sebab setiap kanak – kanak haruslah bahagia
So, kalau udah kepikiran nikah berarti udah siap untuk berbagi bahagia dengan lebih banyak orang. Kata ajaran agama, karena hidup pun hakikatnya ialah berjamaah. Maka persiapan kesana adalah kesadaran pribadi. Mau perempuan atau laki – laki sama – sama memiliki tanggung jawab soal pola asuh, mendidik anak.
Let’s prepare and repair 🙂
Gambar dipinjam darisini
Pare, Kediri 150609 – 19.46 P.M
Arfika