“Are you oke?” tanya Dande pada gadis di sebelahnya.
“Aku sedang lelah berlari. Lebih tepatnya pelarian ini membuat aku berpikir ulang. Terlebih ketika aku bertemu dengan serpihan – serpihan kecil yang hendak aku jadikan buku gambar ku dimasa depan,” cerita gadis itu tiba – tiba.
“Lalu?” Dande tahu yang gadis disebelahnya butuhkan hanyalah telinga untuk mendengar dan perkataan – perkataan seperti kata sambung pada bagian berikutnya. Bukan suatu lensa untuk membiaskan, tapi hanya cermin untuk memantulkan setiap bayang yang ingin gadis itu lihat.
“Ketika aku mengira aku harus memiliki 1 milyar untuk jadi bahagia, aku salah ternyata aku hanya butuh satu. Ketika aku mengira aku harus naik ke bulan untuk melihat Merkurius ternyata aku keliru, aku hanya butuh menginjak halaman depan rumah pun cukup. Definisiku pada bahagia terlalu keliru. Aku muluk – muluk menambah dan mengalikan, padahal menyederhanakannya justru meringankan dan membahagiakan. Terhenyak melihat hal yang besar, padahal ketika aku berbalik semua menjadi begitu sederhana dan membuat bahagia,” ungkap gadis itu kali ini dengan nada suara datar dan senyum meremehkan.
“Aha! Sepertinya kau sedang menertawakan dirimu sendiri, Kemi.” Timpal lawan bicaranya.
Kemi menoleh ke arah Dande.
“Nikmati saja, esok lusa lelucon itu akan kamu lupa,” tambah Dande.
“Aku sadar satu hal. Betapa beruntungnya aku masih memiliki mereka yang mencintaiku apa adanya aku walaupun aku bukan siapa – siapa,” ujar Kemi tiba – tiba.
“Tentu ada Kemi. Seeksentrik apapun dunia ini tetap ada orang – orang berhati tulus yang akan mencintai diri kita apa adanya kita. Tak perlu make up tebal – tebal, tak perlu memamerkan senyum palsu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Menara Pisa di Itali sana menjadi keajaiban justru karena ketidaksempurnaannya,” Dande mengunyah apel yang ada ditangannya.
“
Mungkin itulah alasan matematika mengajarkan penyederhaan pecahan, karena buat apa tergopoh – gopoh menghitung jika pun ternyata yang sederhana justru yang memberi arti,”
celetuk Kemi.
“Then? Kesimpulannya?” timpal Dande seperti sudah ada diujung dari percakapan mereka hari itu.
“Aku siap berangkat menatap dunia,” kata Kemi dengan tatapan lurus.
“Begitukah?” uji Dande lagi sambil melirik ke sebelahnya.
“Keputusan itu semacam kelahiran. Ibarat bayi dia harus dirawat untuk mendewasa. Memutuskan artinya berani untuk menjalani.” Kemi menoleh ke lawan bicaranya dengan senyum simpul.
“Hidup memang harus lucu, biar semua orang suka,” timpal Dande sembari memberikan apel yang lain pada gadis disebelahnya.
“Dan, jangan kamu kira bahagia sejati itu asalnya dari luar. Bahagia sejati harusnya ada di dalam diri kamu sendiri. Kamu hanya butuh benar – benar bahagia. Sehingga apapun kata orang, omongan, pandangan mereka tidak memiliki pengaruh menambah atau mengurangi kebahagiaan kamu,” imbuh Dande.
Kemi kemudian tersenyum. Seperti mengatakan terimakasih atas apel dan cerminnya.