“Kinari, these dragons from deep time are incredible creatures. They’re bizzarre, they’re beautiful, and there’s very little we know about them,” ujarmu dengan mata penuh binar seakan bahwa kerangka tak bernyawa itu adalah berlian yang lebih bernilai dari apapun.
Hari – hari itu adalah persiapan keberangkatanmu entah kemana, yang kuingat jika tak salah ialah menuju perbatasan Maroko entah Algeria yang bernama Kem – Kem. Menggelikan waktu kita masih TK bahwa setiap anak kecil ditanya mau jadi apa akan menjawab dokter, pilot, atau guru hari itu aku ingat jawabanmu adalah seorang pemburu dinosaurus. Hari itu aku tahu, bahwa aku harus bercita – cita berbeda pula. Bahkan mungkin sampai hari ini aku masih mencari aku ingin jadi yang berbeda.
“Paleontologi memungkinkanku untuk menyatukan kecintaanku pada hewan dengan keinginanku untuk menjelajah ke sudut-sudut dunia,” begitu katamu dengan entah bagaimana kamu bisa berpikir demikian. Mungkin karena kamu cukup beruntung membaca ensiklopedi dunia lebih cepat dibandingkan siapapun.
Dan, beberapa tahun kemudian kamu sudah berhasil memimpin sebuah ekspedisi ke sudut paling luas di dunia, Sahara. Kamu bercerita kesana ingin menemukan Spinosaurus. Astaga, bahkan aku tak tahu ada berapa macam dinosaurus di dunia ini dan aku menjadi harus berkepetingan agar aku bisa menjawab apa saat kamu bercerita apa. Dalam email singkatmu sebelumnya kamu mengatakan bahwa Spinosaurus telah ditemukan oleh Paleontologi Jerman 100 tahun lalu, sayangnya semua tulang belulangnya harus musnah karena peperangan dunia kedua. Dalam email sikatmu itu terdengar seperti seseorang yang kehilangan harta paling berharganya, namun katamu kamu masih beruntung karena masih ada beberapa gambar dan catatan.
“Kinari, kamu tahu fosil-fosil itu terkubur di sebuah sistem sungai. Sistem sungai tersebut juga ditinggali coelacanth raksasa sebesar mobil, seekor ikan gergaji raksasa, dan langit di atas sistem sungai ini dipenuhi pterosaurus,reptil terbang. Tempat yang cukup berbahaya, bukan tempat yang kamu ingin tuju jika kamu punya mesin waktu,” ujarmu lagi dalam email yang lain.
Aku tertawa, sampai saat ini aku justru mencoba menakar mengapa Tuhan tidak pernah memberikan alat pengembali waktu kecuali di akhir nanti. Sederhana mungkin, bahwa jika ada mungkin kamu akan lebih memilih hidup bersama Spinosaurus dibanding hidup di masa sekarang. Aku terkekeh. Atau, agar kita tidak pernah bercanda bahwa setiap masa akan selesai dan menjadi purbakala bukan hal yang mengasyikan jika kamu bukan Paleontologi. Aku sebut kamu pecundang kenangan, yang suka bermain – main dengan masa lalu.
“Jadi kami menemukan semua fosil binatang yang menakjubkan ini yang hidup berdampingan dengan Spinosaurus, tapi Spinosaurus sendiri sulit ditemukan. Kami hanya menemukan potongan-potongan dan aku berharap kami menemukan bagian kerangka di suatu tempat,” lanjutmu kemudian. Aku mengerti bahwa kadang kita untuk menemukan sesuatu bahkan akan menemukan banyak hal, yang kadang kita suka maupun tidak kita suka.
“Because it is about the journey Kinari, not destiny,” ujar sahabatku yang lain beberapa waktu yang lalu.
“Akhirnya, baru-baru ini saja, kami menemukan sebuah situs penggalian dimana pemburu fosil setempat menemukan beberapa tulang-belulang Spinosaurus. Kami kembali kesana dan mengumpulkan lebih banyak tulang. Dan akhirnya setelah 100 tahun kami punya bagian kerangka lainnya dari makhluk yang aneh ini, Dan kami dapat membangunnya kembali.” Aku melihat paragrafmu semakin menipis, dan aku mencemaskan hal itu.
Aku melajutkan surat elektronik itu lagi, dan paragrafmu bercerita tentang betapa bahagianya karena kamu berhasil menyusun kerangka digital Spinosaurus bersama rekan kerjamu. Aku tersenyum. Aku kepalkan telapan tanganku di depan badan seperti ritual jika kita bertemu.
“Kinari, seorang sahabat sejawatku mengatakan, wow, ini penemuan sekali seumur hidup. Tidak banyak yang tersisa untuk ditemukan di dunia ini”. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan perkataan dalam hati, Sahara masih penuh dengan harta karun,dan jika orang mengatakan bahwa tak ada tempat lagi untuk dijelajahi.” Itu adalah surat elektronikmu beberapa hari setelah kamu berhasil mempresentasikan penemuanmu pada kolega – kolegamu di universitas ternama kelas dunia di belahan bumi lain disana.
Di akhir surat itu seperti biasa selalu diselipi dengan sebuah kalimat dari pemburu dinosaurus terkenal. “I like to quote a famous dinosaur hunter, Roy Chapman Andrews, and he said, “Always, there has been an adventure just around the corner — and the world is still full of corners.”
Air mataku jatuh seketika pada penghujung surat elekronik itu. Aku memang tidak pernah berniat menjadi Paleontologi, tapi entah kenapa Tuhan tetap menakdirkan aku menjadi Paleontologi yang memunguti remah – remah kenangan dalam setiap hal yang pernah kita lalui. Barangkali Sahara mencintaimu dan Tuhan menakdirkan kalian bersatu. Sahara merenggut Aleo untuk berhenti mengetik surat elektroniknya untukku karena sebuah badai pasir.
“Always, there has been an adventure just around the corner — and the world is still full of corners. Because life must go on,” kataku dalam hati menyusun kata terakhir sebelum semua email itu lenyap dalam satu klik.
“Miss Kinari lihat gambal aku, bagus kan?” tanya seorang murid yang mendatangiku ketika aku menyeka air mata. Dia memamerkan giginya yang ompong dan sebuah gambar berbentuk dinosaurus.
Aku tersenyum. “Tuhan memang senang bercanda.”
Jakarta, 151014 – 23.16
Terinspirasi dari TED Talks oleh Nizar Ibrahim
gambar dipinjam disini