Dande menyerahkan sebotol air putih dari saku ranselnya saat Kemi datang. Ada bangku taman dari kayu yang mereka gunakan untuk duduk – duduk di tengah bunga flamboyan taman kota yang bermekaran. Sungai jernih dengan liukan diantara jembatan tidak jauh dari pandangan mereka. Inilah taman kota.
“Terima kasih, Dande,” ujar Kemi setelah menegak setengah dari air di dalam botol. Dande membalasnya dengan senyuman dan alis yang terangkat sebelah.
“Nampaknya kau sedang suka berlari – lari,” sahut Dande sekenanya. Kini jari – jari yang sejak tadi menekan – nekan piranti layar sentuh berhenti beraktivitas.
“Ya, nampaknya begitu. Mungkin sekarang sedang saatnya untuk berlari,” gurau Kemi kemudian. Dia menyerahkan kembali botol air minum yang kini tersisa setengah.
“Hmmm… semoga bukan berlari di tempat,” celetuk Dande lagi.
Kemi menatap Dande seperti sebal dengan celetukannya. “Tentu hal itu bodoh sekali Dande. Waktu tidak pernah berlari di tempat, jika aku berlari di tempat waktu akan meninggalkan aku dan mana mungkin aku mengejarnya.” Kemi berseru sembari menyelojorkan kakinya.
“Hmm?” Dande mangangkat sebelah alisnya seperti bertanya “kenapa?”.
“Hidup kadang membawa kita ke entahlah apa namanya, semacam fragmen, episode yang kita tidak tahu. Tiba – tiba saja begitu dan begini, begitu… hmm.. tapi, itu indah, Dande.” Kemi memungut sebuah helai flamboyan yang jatuh di sebelahnya.
“Ya, aku rasa memang begitu. Oleh hidup kita disediakan sebuah keranjang. Seperti di pasar, kamu bebas berbelanja apa saja karena kamu memiliki sebanyak apapun alat tukar di dunia ini. Hanya saja, yang kita berikan itulah yang akan membedakan.” Dande menatap lurus.
“Apakah itu semacam mata uang?” selidik Kemi.
“Tentu bukan Kemi. Tolonglah jangan kau bawa – bawa mata uang seperti berbicara seolah keturunan Tuan Adam Smith. Tentu itu bukan mata uang, Kemi. Kita bahkan hanya memberikan itu pada setiap orang dan tidak berharap saat itu juga kita dapatkan pertukarannya, ini juga bukan barter. Kita hanya memberi begitu saja,” ujar Dande kini melihat ke arah lawan bicaranya.
Gadis di hadapan Dande pun membulatkan matanya. “Mungkinkah yang kau maksud adalah kebaikan, Dande?”
“Absolutely yes, Kemi! Keranjang – keranjang itu seharusnya diisi dengan kebaikan saat kita mengeluarkannya, dan tibalah suatu ketika ada tangan lain yang memberi kita kebaikan pula. Oleh orang yang sama atau orang yang berbeda.” Dande tertawa.
“Hidup memang ajaib, Dande. Dia memberikan kejutan begitu saja. Karena, kebaikan itu seumpama magnet yang akan menarik magnet kebaikan yang lainnya,” sahut Kemi sambil tersenyum menggemaskan