Setiap Tempat Memiliki Cerita

Perjalanan sebulan setiap weekend memberi makna baru. Sayangnya memang perjalanan terakhir justru ke Jakarta yang mana ini merupakan perjalanan paling melelahkan dan sangat menguras perasaan.

Hampir semua hal dari Jakarta sangat melelahkan untukku. Hiruk pikuknya. Nada bicara bapak Gocar yang bisa sangat cepat dan meledak-ledak sampai ramainya macam macam iklan di sudut kota dan kendaraan umum.

Jakarta saat disana seperti ada di dimensi yang berbeda. Semua serba cepat, bahkan sudah banyak hal yang berubah disana termasuk orang-orangnya. Gedung yang semakin meninggi, fasilitas baru yang dibangun di kanan dan kiri.
Seperti menyedot banyak energi, itulah yang terjadi pada tubuhku selama di Jakarta. Berbeda seperti aku ke Jember, ke Karimun Jawa. Aku sering merasa memiliki ikatan dengan Jakarta, ku pikir aku bisa healing ke sana. Sayangnya tidak, Jakarta seperti seorang mantan kekasih yang lebih sibuk dengan pencapaian daripada kenangan-kenangan.

Berbeda dengan aku pergi ke Karimun Jawa. Disana aku menemukan atmosfir yang berbeda. Bagaimana Bahagia tercipta dari alam yang begitu indah di depan mata. Bahwa bahagia menjadi sangat sederhana. Bahwa bahagia tidak menuntutmu menjadi A,B,C,D karena alam begitu indahnya untuk disyukuri dan dinikmati. Bertemu dengan bule yang menikah dengan pria-pria di Karimun Jawa, apa kata mereka? “Saya ingin memiliki slow living.” Itu kata mereka dalam sela-sela percakapan kami berkecipak menuju pulau Cemara. “Sebelum sampai disini saya berpergian hampir satu tahun, sampai akhirnya saya bertemu suami saya.”

Jember sama hal nya dengan Pati. Sebagai sebuah kota di bagian timur paling jauh yang pernah ku datangi. Menurutku Jember adalah kota kecil yang diapit oleh gunung di kanan dan kiri. Memiliki kultur yang erat dengan pesantren membuat adanya kelas jam 5 pagi bukanlah sebuah hal yang mustahil. Ketika mahasiswa mencium tangan sebagai sebuah bakti bukan hal yang harus dihindari karena masih muda dan seumuran tapi berkumpul dengan para dosen yang lain. Walaupun kota ini membuat kereta Legowo membuat legowo bahwa kami salah naik kereta. “Jika terlalu cepat bisa jadi bukan keretamu, jika terlalu lambat juga bukan keretamu. Keretamu adalah yang tepat waktu seperti tertulis dalam tiket.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *