Malam itu aku hanya mampu mengulum doa dalam bibirku. Hanya mampu mengayunkan jemari tanpa tahu siapa yang akan menggapainya. Mereka semakin menjeratku, tangan besar itu kian mencengkeram erat lengan lemah tak berisiku. Belumlah aku sempat melihat merah jingga kembang api di langit New York untuk kali pertamanya, belumlah aku merasakan euphoria hari kemerdekaan negara itu. Justru sekarang darahku tengah serasa membeku merasakan dinginnya permukaan pisau lipat dua orang tak ku kenal sewaktu menuju Stasiun Fleetwood.
Malam itupun akhirnya tak ada nyala merah hijau kembang api yang ku saksikan, tak ada. Yang tersisa hanya membirunya sudut bibirku dan memerahnya T-shirt yang kukenakan. Namun, ada nyala lain yang hadir bahkan lebih indah dari merah hijau kembang api.
Dia seorang bocah merah putih dan yang satu lagi begitu cemerlang. Dia dan Mbak Ati.
Semenjak perjumpaanku dengannya malam itu dia kembali datang, dan kembali lagi. Untuk berbagai hal, yang pasti dia datang menanti untuk menerima dan memberi. Sosoknya mengingatkan aku pada diriku di masa kanak – kanak.
Kanak – kanak yang kuhabiskan di sebuah rumah. Rumah yang ku mengerti bukanlah besar yang menjadi dambaan, namun bagaimana cinta dan kesederhanaan yang menyatukan. Di sanalah aku tumbuh dan berdampingan bersama Bapakku, Ibuku, Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan Mira. Di rumah beratap anyaman cinta kasih itulah aku tumbuh, menerobos hujan, belajar pada alam akan kekuatan rumput kecil yang tetap tangguh walau terinjak dan tak dianggap. Semua itu dari rumahku yang bertaman walaupun tak luas. Rumah yang membuatku ingin merasakan sedikit ruang bernama kamar. Ku ceritakan tentang rumahku pada dia di beberapa perjalanan, jalan – jalan di New York. Jalan yang tak pernah ku kira akan menapakinya.
Perjalanan di SoHo pagi itu ku habiskan dengan bercerita pada dia tentang bapakku Abdul Hasim. Ku katakana padanya bahwa bapakku adalah seorang sopir angkot di jalan – jalan di sekitar Batu Malang. Bapak yang kini usianya tak lagi muda, bapak yang kini beruban, bapak yang dulu berjuang mati matian untuk bisa membeli mobil sendiri demi kekuatan keluarga yang harus dipertahankan. Diatas Brooklyn Bridge sosok bapak yang pernah jatuh dan bangkit itu tergurat. Ku peluk dia yang berseragam merah putih, dan aku hanya mampu berbisik “aku kangen bapak”.
Hari berikutnya selepas kelas Yoga ku peluk dia yang menemuiku. Seperti ada ketergesaan yang ingin ia tanyakan, dan teryata tentang ibuku. Ibu Ngatinah yang begitu bercahaya. Malaikat kombinasi cinta kasih, keserhanaan, dan ketegaran yang kuat. Pada bagian ini bagaimanapun aku akan menangis, ku ingat detil bagaimana ia yang tak bersekolah tinggi itu begitu lihai mengatur semua yang bisa menyelamatku. Semua yang mungkin bisa mengantarkanku agar terbang atau mendayung kapalku. Dialah angin yang mampu mendorong laju layar kapalku yang berkali – kali hampir berhenti dan kehilangan arah. Ibuku yang paling hebat. Puisi hidupku!
Kesempatan berikutnya pada bocah berseragam merah putih itu ku ceritakan pula kekuatan besar Mbak Isa yang membuka segala awal mimpi dengan segenap prestasi yang Mbak Isa miliki. Sekarang mbak Isa menjadi guru SD. Ku ceritakan sastra yang indah dari Mbak Inan, Mbak yang mengajariku banyak hal. Bahkan selanjutnya, meski dia tak datang ku tuliskan kisah tentang teman setiaku, adik perempuan pertamaku Rini. Hingga ku sambung kisah tentang adikku Mira, yang terindah. Mira yang kini menjadi dokter hewan, gadis pejuang yang hebat.
Ku katakan pada dia lagi, bahwa mereka semua adalah pelangi dalam rumahku. Meski atap rumahku kadang mendung dan hujan, namun semua itu ku yakin akan berganti dan menjadi indah . Mereka adalah cahaya matahari yang menrefleksikan cinta. Mereka adalah matahari yang menrefraksikan kekuatan. Mereka adalah matahari yang mendifraksikan kegembiraan. Hingga tercipta pelangi indah dalam rumah kami.
Hari itu musim gugur saat ku ceritakan tentang suka cita Bapak ketika kelahiranku. Selepas ku puaskan kegemaran baruku, membaca. Ku tuliskan surat tentang aku karena berhari – hari ia tak datang. Ku tuliskan aku yang kecil dalam rumah 6 x 7. Aku yang sering bersungut ketika tetangga berbondong – bondong hendak ikut menonton televisi di ruang keluarga yang kala itu sekaligus tempat tidurku, tempat belajar dan bermainku. Aku yang menghabiskan waktuku untuk berkutat bersama buku. Track record perjalanan pendidikanku hingga mengingat cita – cita tiruanku sebagai handship. Bahkan tentang mimpi dan ruang baru yang teretas dari pesona teater.
Kemudian ku kisahkan ceritaku yang berhasil masuk jurusan statistika IPB lewat jalur PMDK hingga super tour masa KKN. Tak ketinggalan tentang segala badai yang menerpa kapalku. Masa yang mana aku harus bertahan dengan keterbatasan, dengan penghabisan dan pinjaman yang membuatku pernah mengungkapkan ku ingin kerja di kawasan “Blok M”.
Keretakan perjalanan yang ku ukir bagai relief, terlebih ketika aku akhirnya lulus dan menagih janji perubahan. Menyambut profesi di Nielsen Jakarta, berlanjut ke Danareksa, hingga aku terbang ke Amerika dan berjumpa dengan Mbak Ati.
Kemudian dia tersenyum, saat ku ceritakan tentang Aundrey. Wanita yang ku kenal di kelas yoga yang diampu guru spiritualku Rima. Wanita yang sempat ku sediakan yoga mat bersebelahan denganku, wanita yang kemudian pergi sebelum musim gugur datang menjemput.
Di waktu lain, ku ceritakan pula tentang sesuatu. Ini bukan kisah cinta. Ketika itu autumns, ketika itu dia yang datang ke New York, ketika itu dia yang ku sebut Kalista menetap selama delapan hari. Gadis yang ku kenal dari facebook itu, yang menghabiskan enam hari berkunjung ke Central Park. Gadis yang kemudian pergi kembali melanjutkan perjalanannya, yang sempat mengatakan Iwill miss you bukan I love you bukan juga good bye.
Hingga akhirnya kerinduanku pada Batu dan rumah membuncah, menyeruak dari sela – sela kesibukanku menjadi Director, Internal Client Management dia berkata akan pergi. Entah kenapa, setiap ku tanyakan ia hanya berkata bahwa aku telah lebih dari kuat dan dia akan meninggalkanku.
Sampai suatu hari ketika aku akhirnya kembali ke tanah air, ke Indonesia. Dia ikut bersamaku berjumpa Bapak, Ibu, mbak Isa, Mbak Inan dan lainnya termasuk rumahku. Ia melihatku memperagakan yoga pada mereka, ia tersenyum. Hingga kemudian aku mengajaknya mendaki Rinjani. Ada selaksa yang tak pernah bisa ku tuliskan, ada sebuah ruang yang seketika menjadi begitu damai. Ruang yang kemudian mengatakan semua telah berubah dan akan baik lebih baik dari sebelumnya. Ruang yang kemudian mengendap bersama sesuatu yang lain yang saling bicara dalam diam dan kebahagiaan. Ketika itulah dia pergi, dengan tenang dan guratan yang sempurna di puncak Rinjani.
Ketika semua yang menjadi mimpi terdaki. Ketika waktu berjalan, ketika musim berganti. Ketika hati berbicara untuk kembali, saat itulah 9 summers 10 autumns terpungkasi namun tak berakhir.
“Impian harus menyala dengan apapun yang kita miliki meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun retak retak”-9 summers 10 autumns (Iwan Setyawan)–(Arf)
Semangatlah untuk meretas janji kehidupan yang lebih baik__(ME, RS-26/11)