The LOA

Ada 3 macam yang menjadi fokus di beranda facebook saya : Foto Pernikahan, Foto Anak, dan Foto LOA (letter of acceptance).

Dari ketiga macam kesombongan berander’s facebook, yang paling saya inginkan adalah yang terakhir. LOA.
Ya, siapa sih nggak pengen kuliah (most of them study abroad), dibayarin, bisa jalan-jalan pula.

Tapi, nyatanya memang takdir tidak membawa ketiga kesombongan itu begitu saja dalam hidup saya. Mungkin biar saya nggak sombong-sombong amat. 😀

Satu tahun lulus dari kuliah S1 dengan sederetan peristiwa yang akhirnya saya masih ada untuk menulis tulisan ini adalah time zone yang tidak mudah bagi saya. Bawasannya akhirnya saya dipilihkan untuk merevisi rencana-rencana yang semula terlihat begitu perfect. Semua rencana itu sempurna, realitanya saja saya yang tidak sempurna.

Dari sebelum lulus setelah ganti plan akhirnya memang pengen kuliah lagi. Kuliah dimana adalah pertanyaan berikutnya. Dari banyak orang yang mendukung saya, saya sangat salut dengan kepercayaan mereka bahwa saya akan study abroad.

Terus study abroad?

Secara nyata saya sudah berupaya untuk study abroad. Tetapi memang ada banyak tapi. Menurut saya sendiri psikologis saya tidak cukup kuat untuk membawa beban segera kerja atau segera sekolah. Ditambah banyak masalah lainnya yang bikin galau. In the end, saya tidak jadi study abroad.

Kenapa?

Saya berkompromi dengan banyak hal yang berkaitan dengan ambisi-ambisi saya. Saya tahu hidup ini bukan cuma soal saya sekolah dimana. Tapi, ada banyak hal lainnya yang harus saya sikapi dengan bijaksana termasuk soal usia saya yang tidak mungkin makin muda. Daripada saya mengejar sesuatu yang saya sendiri tidak tahu kapan secara jelas diri saya mampu dengan baik untuk mendapatkannya lebih baik saya segera merevisi rencana tersebut dan menggantinya lain waktu jika ada kesempatan.

Kalau nggak ada kesempatan?

Kita bisa menempuh banyak jalan asalkan kita benar-benar menginginkan sesuatu. Saya percaya itu. (( termasuk jalan-jalan berdua sama suami ke Eropa kalau ada rejeki)) 😛

Then, kuliah dimana?

Kembali ke mantan. Mungkin benar kata seseorang, ketika kamu terus mencoba pergi dan nyatanya kamu kembali barangkali itu yang disebut rumah. Udah jodoh.

Jadi, LOA?

Ya, finally after a long-long while saya dapat LOA juga :’) Dan, saya merasa sangat terharu penuh syukur karena perjalanan saya untuk dapat kepastian kuliah ini begitu pelik dalam pemikiran saya sendiri. Bisa bayangin setiap hari harus terus menimbang-nimbang kuliah dimana, hidup dimana, beneran mau kuliah?, gimana kalau ini, itu dan sebagainya. Sampai akhirnya saya berkata, STOP!

Tahu rasanya lama jomblo terus akhirnya nikah? Lamanya nyari kerja tiba-tiba dapet? Begitu juga perasaan saya terhadap LOA ini. Saya sudah lama mendamba ingin kuliah saja dibandingkan kerja untuk yang bukan tujuan hidup saya. Saya senang sekali akhirnya bisa kuliah, bersyukur ALLAH memberi rejeki pada orang tua saya untuk tetap menguliahkan saya, bersyukur ALLAH memberikan orang tua yang sangat mengerti visi misi anaknya.

Pada awalnya saya juga marah sama diri saya, ‘kalau tahu balikan kenapa nggak dari dulu langsung daftar aja si? Kan lebih awet umur?” I answer, ya mungkin memang jalannya seperti ini biar saya jadi berpikir banyak.

Dan, kebetulan mungkin demikian rencana ALLAH. Ada banyak hal lain yang secara integrasi dengan keluarga dll yang memang mungkin mengharuskan saya untuk kembali ke mantan saja.

Pelajaran untuk beasiswa hunter :

Dulu awal kuliah saya ingin kuliah lagi setelah S1, tapi kemudian berubah pengen jadi praktisi kemudian di akhir masa studi berubah lagi pengen jadi akademisi. Perubahan-perubahan ini membuat saya tidak bisa memaksimalkan amunisi yang harus saya miliki kalau mau studi lanjut ke luar negeri.

Menurut saya ini hal-hal yang harus dimiliki ketika mau study abroad (dan saya tidak memiliki full).

Bahasa, menguasai bahasa tidak bisa sulap dalam beberapa waktu. Witing tresna jalaran saka kulino, demikian pun dengan bahasa. Bahasa adalah keseharian yang harus dilatih. Jadi kalau mau dapet TOEFL, IELTS bagus ya harus belajar terus.

Tabungan, biaya lain-lain dan lain-lain itu ternyata nggak murah. Jadi, memiliki tabungan khusus untuk kepentingan pengejaran si Beasiswa bisa dilakukan jauh-jauh hari.

Teman, punya teman yang sevisi dan semisi buat study abroad itu penting. Karena, semangat itu naik turun kayak iman. Memiliki teman yang mengingatkan cita-cita menyemangati pas lagi down itu sangat berarti. Kalau bisa berprosesnya sama, biar nggak jadi single fighter.

Mentor dan network, punya mentor buat study abroad itu penting banget. Mentor ini kalau bisa sih yaaa yang udah studi duluan jadi punya bayangan seperti apa. Karena kebutaan ini membuat langkah-langkah kita bisa sembarangan dan nggak praktis.

Tahu Tujuan, tujuan dalam arti banyak, tujuan hidup, tujuan studi dimana dll. Semakin kita tahu apa yang kita mau, biasanya akan lebih mendekatlah kemauan itu. Mengenal universitas yang kita mau membuat kita bisa melakukan semaksimal mungkin dalam memperjuangkan dia bukan?

Kesabaran, ALLAH bersama orang-orang yang sabar. Ada banyak orang yang sekali apply langsung dapet, tapi banyak juga yang harus mencoba berkali-kali sampai akhirnya dapat beasiswa dan sekolah. Kejar terus sampai dapat 😀 insyaAllah dapat kok asal kualifikasinya terpenuhi.

Begitulah. Semoga ada banyak hikmah yang bisa dipelajari dari setiap perjalanan, keputusan dan tujuan.

its okey to be failed

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *