Aku memutuskan menggunakan baju warna mint dengan palet krem untuk bertemu seseorang hari ini. Tidak ada alasan khusus, selain aku malas berpikir bertemu seseorang menyukai biologi sepertinya dia akan senang dengan warna hijau.
“Aku suka warna abu-abu, karena militer Jerman sejak dulu selalu menggunakan warna abu-abu untuk seragam militer mereka,” ceritanya di tengah kami sedang menikmati santap siang.
Aku tersedak. Ku tenggak buru buru segelas es kopi susu promo hari ini– ternyata tebakanku keliru.
“Aku suka sejarah militer negara-negara eropa,” lanjut laki-laki berkacamata itu lagi. Hidungnya yang cukup tinggi terhimpit di antaranya. Darah campuran Aceh dan Betawi membuatnya hampir serupa dengan pria-pria daratan Balkan. Setelah empat tahun di Turki bahasa Indonesia menjadi terdengar begitu baku dan formal-seperti bule.
Laki-laki di depanku mengaku menggilai Eropa daratan lebih dari kopi gayo favoritnya, atau masakan ibunya sendiri. Itulah yang membuatku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tersesat di kota ini.
“Ku pikir tempat ini seperti kota-kota Mediteran di Turki, seperti Izmir, Antalya, Mersin. Ada pantai tidak terlalu jauh kemudian ada bukit-bukit,” cerita laki-laki itu menyebutkan beberapa nama kota di pinggiran Laut Aegea Turki dengan antusias.
Laki-laki berkacamata minus dengan beard tipis di dagu ini memang lulusan Turki. Itulah yang membuat pikirku semakin aneh karena dia seperti memilih kota ini. Apalagi dengan mimpi-mimpi yang dia ceritakan padaku, sangat seru tentunya untuk membuat itu jadi nyata.
“Udah pernah ke pantai mana aja di Turki?” tanyaku lagi. Tentu saja aku selalu menyukai seseorang yang bercerita hal baru. Bagiku ketika seseorang bercerita aku bisa mendapatkan banyak pengetahuan tanpa harus membaca.
“Lockdown, kami tidak bisa kemana-kemana. Kami hanya bisa beraktivitas dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Lalu saat weekend kami sama sekali tidak boleh berpergian sampai hari Senin pagi,” ceritanya kemudian.
“Sayang sekali ya, temenku yang cuma short course dia bener-bener muter-muter Eropa,” ujarku dengan nada sehati-hati mungkin.
“Inflasi, hampir 90%….”
Aku mengangguk tanda mengerti.
“Saat pandemic kerja di lab juga tidak seperti kerja.”
“Kenapa?”
“Karena kalau ada apa-apa di lab teknisi nggak bisa berpindah dari satu kota ke kota lain. Jadi aku hanya punya waktu enam bulan untuk ngejar penelitian selesai sebelum tenggat beasiswa,” ceritanya.
“Disiplin banget ya…” tanggapku asal.
“Karena daerah mediteran itu sangat suka berkumpul, berpesta,” ungkapnya.
“Seperti di Indonesia?”
Dia menggeleng pelan, “mereka lebih gila pesta, sedikit-sedikit berkumpul untuk pesta musim panaslah, pesta wine dan banyak pesta lainnya. Makanya negara seperti Spanyol, Perancis sangat buruk kemarin dalam menanggulangi pandemic.”
Aku ber-oh pelan. “Kok bisa suka sama kimia gimana tuh? Dulu aku ngerjain redoks aja rasanya susah banget, nyerah…” ungkapku jujur. Melihat table periodic saja rasanya sudah pusing kepalaku.
Dia tertawa pelan, “suka aja, karena kimia itu ada di sekitar kita. Ada banyak perubahan reaksi kimia.”
Sepertinya setiap orang yang kasmaran pada bidang mereka akan mengakui hal yang sama. Karena ilmu mereka seperti udara ada di sekitarnya. Seperti bahasa, seperti udara, seperti yang selalu mereka pikirkan setiap waktu.
“Dan kebetulan aku juga menyukai biologi. Biokimia, biotech itu masa depan,” lanjutnya.
Aku mengangguk tanda setuju. Ya, isu energi terbarukan seperti akan moncer di tahun-tahun mendatang. Banyak jurusan-jurusan di barat yang mulai konsen kesana.
“Omong-omong apakah kamu suka kebab?” tanyanya.
Aku mengangguk mengiyakan, “seperti apa kebab di Turki?”
“Kebab di Turki itu dimarinasi terlebih dahulu terus akan keluar minyak dan lemaknya, baru ditusuk dengan doner. Ada pula adana kebab, kebab dari daging pantat domba,” ceritanya dengan bersemangat.
“Apa bedanya adana kebab dengan kebab biasanya?”
“Selain penggunaan daging, adana kebab juga tidak dibungkus tortilla tapi dimakan dengan roti tipis biasa,” jelasnya.
Aku memang pernah bermimpi untuk makan kebab langsung di Turki. Ceritanya membuatku semakin ingin pergi kesana.
“Sebelum pandemic di Turki setiap bulan selalu ada pameran hasil kota masing-masing di alun alun. Di Isparta misalnya salah satu kota penghasil mawar terbesar di dunia ada pameran berbagai macam produk mawar, dari air mawar, selai mawar dan banyak lainnya.”
Aku makin tertarik dengan ceritanya, “Keren banget. Harum banget pasti kotanya, selai mawar kayak gimana rasanya?” tanyaku penuh antusias. Pembicaraan ini mengingatkan ku pada teh mawar, ayuverda mencatat sangat cocok untuk mereka yang sedang jatuh cinta.
“Rasanya manis, wangi mawar kuat.”
Menit-menit berikutnya ia banyak bercerita tentang bagaimana makanan Turki, musim di Turki, macam macam hal tentang Turki, dan perempuan Turki.
“Patriarki Turki seperti Arab Jahiliyah…”ceritanya.
Aku tidak pernah berpikir bahwa negara seperti Turki akan demikian tentang kesetaraan gender, KDRT dan isu-isu domestic lainnya.
“Aku punya buah tangan untukmu,” ujarnya tiba-tiba seperti mengingat sesuatu.
Aku penasaran, buah tangan dari Turki kah maksudnya?
“Ini buat kamu…”
Aku tidak tahu benda pipih di hadapanku ini apa. Ukurannya hanya 4cm, tipis beberapa mili dengan corak garis warna biru batu pirus dan tertera angka di tengahnya. “Apa ini?”
“Elektroda, ini dulu aku gunakan di lab untuk percobaan penelitianku. Di tengahnya nanti bisa ditetesi enzyme dan dihubungkan dengan voltase,” jelasnya dengan antusias.
Otakku berpikir dengan lebih keras. Aku menjadi murid jurusan IPA saat SMA dan itu sudah hampir satu decade lebih yang lalu. “Oh… apa novelty yang kamu buat?” sebuah pertanyaan standart indicator penelitian yang aku tahu.
“Penelitian sebelumnya itu menggunakan ampermeter, sehingga tingkat akurasi…. Perubahan PH…blablabla….” Dia menjelaskan begitu detail dan ilmiah.
Ups… selain otakku yang mulai bekerja maksimal perutku pun ikut bergejolak. Aku yang tidak pernah mengkonsumsi kopi susu dan hanya karena iming-iming promo jadi memilih membelinya-kuakui sebagai tindakan impulsive. Tidak ilmiah.
Lalu apa reaksi kimia yang terjadi di dalam perutku saat ini?