Tranquillité, Jenewa

“Kak Tara, genève c’est tellement une belle ville*,” Rana memandang ke arah bukit – bukit yang menghijau di antaranya ada gunung Alpen dan Mont Blanc yang menjulang. Mereka tengah menyusuri sungai Le Rhone atau biasa disebut Geneva Lake. Suara air mancur memenuhi pendengaran mereka, icon wisata Geneva The Jet d’Eau fountain salah satu air mancur tertinggi di dunia terlihat dari tempat mereka berdiri. Karena, pun air mancur setinggi 140meter itu dapat dilihat dari seluruh kota Jenewa.

“Aku senang kamu menyempatkan diri ke Jenewa sebelum pulang ke Indonesia Rana,” Tara merapikan switter warna maroon yang ia kenakan.

“29 Euro dari Singen ke Jenewa tak masalah sebelum aku jauh dari benua ini Kak, serta bisa bertemu denganmu tentu saja.” Rana tersenyum ke arah perempuan berambut sebahu dengan bola mata coklat itu.

Rana dan Tara berkenalan secara tidak sengaja tiga tahun lalu ketika Rana mencari beasiswa master ke Eropa. Waktu itu Tara baru saja menyelesaikan masternya dan berkenalan dalam satu makan malam pemburu beasiswa.

“Kak Tara tak ingin kembali ke Indonesia? Sudah terlalu lama kakak disini.” Kata Rana sambil menghirup udara Jenewa dalam – dalam.

“Dulu aku selalu bertanya mengapa banyak perjanjian perdamaian dilakukan di Jenewa, apa yang Jenewa miliki adalah jawabannya,” Tara mengedarkan pandang ke arah beberapa burung yang terbang rendah, suara gemericik air The Jet d’Eau terdengar disela – sela perbincangan mereka.

“Sebenarnya kedamaian macam apa yang kakak cari?” kini Rana mencoba melirik ke arah Tara.

Tara menghela nafas.

“Bagaimana hubunganmu dengan Tama?” tanya Tara kemudian.

“Ada beberapa kesalahpahaman belakangan ini dengan Tama, kepulanganku ke Indonesia banyak membuat kami miss komunikasi,” Rana mendengus pelan.

Tara tersenyum pandangannya jatuh pada beberapa bunga yang bergoyang ditiup angin. Mereka kini berada di flower clock di English Park, lambang Swiss dalam industri jam tangan di dunia. “Semoga kalian bisa melalui masa – masa seperti itu.”

“Tama mengira aku medikte hidupnya Kak, padahal maksudku bukan itu. Aku tidak memaksa dia apalagi tentang hidupnya. Kenapa sih ketika kita membuat seseorang bisa memilih dan kita dengan pilihan kita seolah kita menyuruhnya memilih serupa? Padahal kan bukan itu maksudnya.” ungkap Rana dengan nada protes.

“Ego laki – laki terlalu besar untuk itu Rana. Dan, setiap manusia pasti memiliki ego yang ingin berbicara. Hubungan seringkali tentang kesepakatan dan pertaruangan dua ego manusia yang berbeda.”

“Kenapa memberi kebebasan memilih justru disangka mendikte, tapi mungkin jarak sementara akan membuat kami berpikir,”dengus Rana lagi.

“Jangan terlalu gegabah, berpisah itu tidak semudah kamu dan dia tidak bertemu. Bukan. Bahkan ketika kamu merasa bahwa sudah tidak ada harapan lagi kadang masih ada yang dipertanyakan,” lanjut Tara.

“Kami tidak akan berpisah semudah itu Kak, ada satu hal yang sudah kami sepakati bersama,” kata Rana dengan nada menyindir diujungnya.

Tara tersenyum mengerti.

“Setahun lalu aku tidak tahu harus bagaimana melihat ketakutan sebesar itu dalam dirimu, aku bahkan nyaris tak mengenalimu. Sekarang nampaknya jauh lebih baik,” lanjut Rana memandang ke arah lawan bicaranya.

“Semua akan baik – baik saja ketika kita bisa menerima Rana, hidup tidak selalu sesuai dengan yang kita inginkan. Ada banyak faktor di luar diri kita yang tidak bisa kita kontrol dan cenderung tidak kasat mata,” senyum menghiasi perkataan Tara itu.

“Apakah kalian pernah bertemu?” tanya Rana hati – hati.

Tara menggeleng pelan.

“Mungkin aku sedang belajar tentang mencintai dengan lebih baik,” Tara menoleh ke arah lawan bicaranya.

“Memangnya cintamu tidak baik? Bukankah cintamu besar pada dia? Je pense que c’est une histoire d’amour toute douce entre Tara et Dia Ça m’a beaucoup plu,*”

“Cinta yang besar belum tentu lebih baik. Cinta yang baik selalu memiliki jalan. Kalau pun kami ditakdirkan bersama, di belahan bumi manapun kami akan bertemu.”

“Sepercaya itu kamu pada takdir?”

“Jika aku tidak percaya, pada apa lagi aku harus percaya?” tanya Tara dengan tatapan dalam.

“Bagaimana jika kalian tidak akan pernah bertemu?”

“Aku harus menerima. Artinya dia akan bahagia dengan hidupnya, dan aku pun bahagia dengan hidupku.”

“Mana mungkin semudah itu.” Rana menggeleng pelan.

“Tidak ada yang mudah dalam belajar menerima, belajar berdamai dengan banyak hal yang kita tidak suka. Tapi, jika memang hanya itu pilihannya lantas bagaimana?”

“Kak…” Ucapan Rana menggantung.

Tara mengangguk pelan sambil tersenyum. Seperti bekata, cukup.

Dari kejauhan beberapa perahu berlalu lalang di danau Geneva. Bus dan Trem teratur mengelilingi kota, serupa kota ini yang tidak pernah mudah membuat setiap penghuninya lelah.

“Aku turut sedih dengan kegagalan P.hD mu ke Amerika sebulan lalu Kak.”

Tara tertawa pelan.

“Tak masalah Rana, tak semua yang kita mau harus terjadi. Mungkin ada banyak alasan baik kenapa aku tidak diterima, bahkan ketika jawaban kebaikan itu baru aku temukan beberapa tahun lagi, atau bahkan ketika aku tidak bisa menerjemahkan alasan kenapa.”

“Bukankah P.hD juga salah satu mimpi terbesarmu?”

“Hmm… tidak bisa dikatakan demikian. Tidak adil rasanya mengklaim mimpi berlebihan, bahkan mungkin ada banyak orang yang bermimpi itu lebih dulu. Tuhan Maha Adil, mungkin memang belum saatnya,” jawab Tara.

Jenewa sedang mengalami musim gugur menuju musim dingin. Cuaca dengan 8 derajat celcius membuat mereka berdua bergerak menuju ke salah satu cafe coklat di sudut kota. Beberapa pengamen jalan memetik gitar dan banyak orang serupa prototipe berbagai negara berlalu lalang diantara obrolan mereka.

“Rana, kamu tahu patung kursi the 3 legged Chair Palais des nations di seberang mata kita yang dibangun September 1929 berdiri dengan gagah walau salah satu kakinya tak utuh, bahkan patung itu dibuat melalui kompetisi tingkat internasional yang mempertemukan berbagai arsitek ternama dunia pada masa itu.”

“Dia memang sengaja dibuat seperti itu Kak.”

“Rana, setidaksempurna apapun hidup seseorang asalkan pondasinya kuat dia akan baik – baik saja. Jika suatu keinginan tidak terjadi saat ini bukan berarti tidak terwujud selamanya. Ada banyak jalan menuju Roma, ada jalan bagi setiap kebaikan. Semua itu sudah ada arsitek paling Maha Sempurna rancangannya. Bahkan mungkin ada rencana yang lebih baik dari yang kita rencanakan.”

Bendera dari berbagai negara di dunia berkibar pelan tak jauh dari mereka.3 legged Chair Palais berdiri sempurna tak jauh dari mereka.

“Mungkin jalanku sekarang memang harus kembali ke Indonesia,” tambah Tara tiba – tiba.

“Maksud Kak Tara?” Rana terkejut dan menghentikan langkahnya.

Tara tersenyum penuh arti.

___________________________________________________________________________________________________

*Jenewa adalah kota yang indah
*Saya pikir itu adalah kisah cinta yang sangat lembut antara Tara dan Dia dan saya benar-benar menyukai

Terinsipirasi dari baca berbagai perdamaian Jenewa di Kompas 😀

Jakarta, 160216
22.33

*seneng akhirnya bisa bikin cerpen juga* :’)

Gambar dipinjam dari sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *