Transisi

Ini tulisan asal – asalan, jangan dianggap serius sekalipun serius lupakan esok atau lusa. Karena saya cuma ingin menulis ini begitu saja.

Akhir – akhir ini saya sedang jenuh, entah kenapa saya jenuh masih terus bertanya pada diri sendiri kenapa saya jenuh. Dan kejenuhan itu bermuara pada banyak hal, mulai dari over thinking terhadap sesuatu, sampai merepotkan orang lain untuk sekedar mendengar keluhan tentang kejenuhan ini. 

Hampir tiga bulan sudah saya di ibu kota yang konon katanya lebih kejam dari pada ibu tiri — tapi nggak tuh saya baik – baik aja. Cuma mungkin saya udah jenuh dengan sepi, ya saya benci kesepian. Sejujurnya kadang kita membutuhkan sendirian — iya ini juga sebuah kebutuhan. Tapi, entahlah apa yang salah dengan diri saya sekarang.

Transisi, kenapa tiba – tiba saya ada dikata ini, dan tertarik menuliskannya. Entahlah kenapa.

Banyak hal yang kemudian ada dipertanyakan dalam diri sendiri, kenapa harus menjadi dewasa dan tua? — pertanyaan konyol sepertinya dikala kita semua manusia tahu banwa waktu adalah variabel yang tidak bisa lepas dalam kehidupan.

Tiba – tiba saya flash back ke belakang dengan semua yang sudah terjadi dengan saya yang sekarang sudah berkepala dua — means sudha makin tua.

Betapa saya bahagia dengan semua yang sudah terjadi, kuliah dengan segala kesibukannya, kuliah dengan segala tugas – tugas terbaiknya, kuliah dengan organisasi, komunitas, rapat dan sesekali journey ke luar kota untuk hadir dalam conference dan semacamnya. Betapa saya suka berjumpa dengan orang – orang baru, betapa saya sangat suka moving dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ah, bahagia. — Tapi kemudian saya sadar bahwa saya akan makin tua, makin tidak bisa mahasiswa S1 lagi, makin harus bertanggung jawab dengan diri saya sendiri. —- Bahwa waktu akan merampas semua kebahagiaan, bahwa saya tahu semua akan berubah. Transisi ini? begitukah? —- tapi saya percaya saya akan menemukan kebiasaan baru yang akan saya cintai. — cuma belum aja saatnya (ini self talk).

Ah… kemudian saya berpikir bahwa tak lama lagi saya harus memikirkan saya akan kerja dimana, bagaimana, seperti apa. Saya akan menuntut diri sendiri, — saya kasian pada diri saya. Selanjutnya saya akan berpikir untuk menikah dan punya keluarga. Kemudian saya akan berpikir menikah dengan siapa bagaimana dan begitulah. — sekali lagi saya sedang over thinking.

Disisi lain sepertinya saya sendiri sedang bosan dengan rutinitas, atau mungkin saya sudah rindu dengan kampung halaman? atau merindukan seseorang? Ah,. kenapa diantara jarak terdapat kata bernama rindu? Toh nyatanya memang teknologi itu tidak membantu rindu dan sepi. Saya bosan dengan gadget lagi gadget lagi. Itulah mungkin alasan kuat kenapa one day saya harus menikah dengan seseorang yang akan menemani saya sepulang kerja. Duduk berdua di teras atau di perpustakaan rumah. Bercerita berdua, bertengkar kecil atau sekedar bersama – sama menikmati waktu berdua. —- kenapa saya jadi ngal0r – ngidul begini? Hahahaha

Transisi ini seperti metamorfosis, wajar kah ketika saya mulai gelisah?

Seperti suatu pagi saya berpikir untuk kembali menjadi Fika usia 8an tahun, yang masih bisa bermain di halaman rumah dengan semua peralatan palsu. Saya ingin kembali menjadi Fika usia 8an tahun yang pernah berkata ingin cepat lulus SD. Saya kemudian yang pernah setiap hari bisa pulang ke rumah untuk bertemu dengan orang tua dan pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Saya kemudian rindu Fika yang mungkin pernah dicibir karena salah dalam memilih. Berada diantara banyak pilihan dan alasan. Kemudian menjadi Fika yang harus SMA, yang kemudian mengenal hal – hal baru termasuk cinta. Ah… cinta (apa itu). Dan sekarang Fika itu mulai rindu masa lalu yang polos dan abu – abu. Tiap orang seperti bilang bahwa masa yang akan datang akan lebih baik, banyak orang yang percaya akan harapan, padahal toh pada akhirnya mereka juga akan merindukan masa yang telah hilang.

semua berjalan begitu saja, seperti ketika menekan ‘enter’ untuk masuk ke paragraf berikutnya. Tapi, ini jadi berat ketika harus berpikir apakah kalimat berikutnya akan menuliskan apa. Karena mulai berpikir bahwa ‘hidup tidak sebercanda itu’.

Sudah saya bilang ini tulisan random, saya sedang jenuh, saya sedang entahlah.

Tulisan ini dibuat sembarangan, di sebuah tempat makan america dominan warna merah, berjarak 5 kali halte busway dari kosan. Tepat di Februari tanggal 9, 2014. Diselesaikan 5 menit sebelum jam 9 malam.

Semoga semua orang berbahagia.

Thanks
Dari Arfika untuk melepas, apa yang tidak tau ingin ia lepas begitu saja.

 

 

One thought on “Transisi

  1. Seperti yang kita ketahui bahwa ‘Kesehatan mental’ ialah kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai kemampuannya, baik tuntutan dalam diri sendiri maupun luar dirinya sendiri, seperti menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah, sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat serta teman sebaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *