Warung Nostalgia : Tetangga, Desa dan Rasa

Tiba-tiba di suatu malam aku begitu merindukan masa kecil di desa. Sedikit banyak membuatku bersyukur kecil hidup di desa yang masih di Jawa, nggak terlalu tertinggal tapi kalau dikatakan maju tidak juga.
Aku beranjak dewasa dan banyak perubahan pula terjadi di desa. Banyak tempat yang sudah berubah, salah satunya adalah warung sego tempe legendaris saat kecil. Kini mungkin ada banyak bertebaran warung sego tempe pedes di desaku, tapi satu warung ini nampaknya punya memori inti tersendiri untukku.
Warung sego tempe legendaris ini tak jauh dari rumah, mungkin hanya sekitar 500 meter. Tidak sulit untuk kesana, tapi Ibu sering menolak untuk makan disana terlalu sering dengan berbagai alasan seperti ramai, antrinya panjang. Warung tersebut memang cukup terkenal di desaku, warga dari rukun tetangga (RT) yang berlainan berduyun-duyun ke sana di waktu sarapan.
Desaku mayoritas adalah morning person. Demografi yang kebanyakan adalah petani, PNS, dan pedagang menggunakan waktu pagi mereka dengan efektif. Sehingga waktu paling longgar satu-satunya yang dimiliki untuk menikmati warung ialah hari Minggu. Begitu pula yang bisa kami sekeluarga lakukan.
Hari Minggu pagi ketika matahari mulai muncul dari ufuk timur warung sudah dipenuhi oleh warga. Setelan mereka umumnya ialah pakaian rumah yang dipakai untuk tidur malamnya. Di tangan mereka membawa wadah-wadah ada yang dari besi maupun plastik. Setelah aku pikir warga ternyata sudah go green sejak dulu, sebelum ada gerakan membawa wadah sendiri seperti zaman sekarang. Mereka telah berjajalan masuk ke warung yang menyatu dengan rumah joglo kayu dengan lantai dari tanah. Warung tersebut dibuat dengan dinding anyaman bambu (gedek) yang melingkar dan sisi-sisi pembatasnya adalah kayu jati yang solid. Bagian depan rumah digunakan sebagai warung, teras dan ruang tamu. Bagian kanan belakang rumah merupakan dapur dengan ukuran 60m2 (seukuran rumah minimalis di kota 2025). Di bagian warung ada seorang Wanita paruh baya yang dikenal dengan nama Mbah Wainah. Beliaulah pemilik warung tersebut bersama suaminya Mbah Sano. Walaupun sepertinya yang menjalankan lebih banyak si Perempuan, baru aku ingat sekarang bahwa warung tersebut lebih terkenal dengan nama Mbah Sano. Mbah Wainah memiliki tugas untuk membuat melayani pembeli termasuk kadang-kadang membuat mimuman. Sedangkan Mbah Sano memiliki tugas menggoreng tempe. Di industri persaingan warung sego tempe selain sayurnya, tempe menjadi selling point apakah warung tersebut enak atau tidak.
Tempat Mbah Sano menggoreng tempe menjadi tempat bertemunya para tetangga, sebab tempe di warung tersebut sangat mudah sold out. Sehingga untuk mendapatkan kloter pertama duduk di depan pawon (kompor dari tanah liat) ialah yang digunakan oleh para pembeli. Api berkobar di antara sela-sela kompor dari tanah liat tersebut. Dengan terampil agar tidak gosong, si Empunya wajan lincah bermain dengan wajan dan alat penggorengan.
Di warung bagian depan Mbah Wainah piawai melontarkan guyonan disela-sela menyajikan makanan – sepiring nasi beralas daun pisang yang diguyur sayur tempe pedes. Warung dengan susunan satu meja besar yang diapit oleh tiga buah kursi kayu panjang banyak didominasi oleh pengunjung pria. Sedangkan Wanita umumnya yang membungkus untuk keluarga. Rombongan keluarga akan makan di bagian ruang tamu yang kemudian difungsikan juga untuk menerima para pembeli. Tak lama kemudian sekitar pukul 08.00 warung sudah mulai kehabisan tempe, maupun sayurnya. Ternyata tak lama setelah aku beranjak dewasa warung ini berubah, pemiliknya meninggal. Rumah Joglo tersebut pun telah dipugar dan sebagian tanahnya dijual. Jalannya dulu yang tersusun dari batu kali rapi sudah menghilang ditimbun bangunan baru.
Rasanya baru kemarin, tapi kini banyak telah berubah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *