Sudah lama aku tidak pernah mendengar lagu ini. Entah aku sengaja menghindarinya atau karena aku pernah cukup bosan karena terus mendengarkannya. Bertahun berlalu dan tiba-tiba lagu ini muncul kembali sudah tidak banyak hal yang membekas. Core memori dari lagu ini ternyata adalah ‘Jakarta’. Aku ingat salah satu moment mendengar lagu ini adalah menumpang Avanza milik mantan bos waktu itu dengan perasaan penuh kekalutan dan rasa sedih yang mendalam. Perasaan yang mungkin tidak akan pernah ingin aku ulang lagi. Rasa sedih yang teramat sedih hingga hari-hari itu rasanya hanya ‘gelap’. Kejadian itu hampir 9 tahun berlalu. Banyak perasaan-perasaan lain yang sudah aku lewati. Entah kenapa mendadak saat mendengar lagu ini aku merasa bahkan hari-hari itu terasa manis sekarang. Aku bersyukur telah melewati masa-masa itu walaupun dengan hadeh hadeh. Aku mengenang betapa kalutnya seorang Arfika di usia hampir 24 th itu. Aku berterimakasih padanya yang walaupun belum sepenuhnya mengerti pada ‘bagaimana hidup’ – bahkan sampai sekarang juga masih mencari. Setidaknya dia mampu ‘bertahan’. Setidaknya dia tidak melakukan hal-hal ‘jahat’, ‘buruk’ setidaknya dia berusaha berdiri walaupun dengan kenaifan dan kepolosan. Setidaknya hari-hari itu telah membentuknya untuk menjadikan ia lebih bijaksana menghadapi ‘apa’ yang barangkali terjadi hari-hari ini. Mensyukuri bisa jadi tidak semua orang pernah menghadapi hal yang ‘sama’. Alih-alih bertanya pada orang tentang ‘Would you be there to always hold me down?
Tell me would you really cry for me?’ kepada orang lain. Nyatanya pada masa-masa itu jawabannya adalah berserah dan percaya pada keyakinan diri. So, self love.
Siapa yang Mengenal Dirinya, akan Mengenal Rabb-nya